Rabu, 15 April 2020

Sejarah Kebudayaan Islam Modern Dan Kekinian

Sekitar masa ke-18 Masehi, negara-negara barat yang sudah mapan mulai memasuki negara-negara Islam serta membangun dominasinya di berbagai jalur sehingga dapat menguasai beberapa aspek kehidupan ditengah masyarakat. Sejak saat itulah umat Islam mulai sadar betapa beratnya penderitaan di bawah penjajahan negara-negara barat. Maka umat Islam mulai menginstropeksi diri dalam segala kehidupanya, baik dalam bidang agama, politik, sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Kebangkitan dunia Islam dilatar belakangi oleh banyaknya negara Islam yang memberontak terhadap negara-negara barat lewat beberapa anutan serta dipacu oleh tokoh-tokoh pemuka Islam untuk memodernkan dunia Islam. Dalam sejarahnya, perjalanan umat Islam dibagi beberapa kurun, adalah: kala klasik (650-1250 M), kurun pertengahan (1250-1800 M), kala modern dan kekinian (1800 Masehi-kini). Pada kurun klasik Islam mengalami kemajuan alasannya pada kala itu terjadi ekspansip-intregasi dan kurun keemasan Islam. Pada masa itu pula lahir banyak para cendekiawan muslim yang mempunyai berbagai macam keahlian ilmu wawasan dan filsafat. Pada abad pertengahan, Islam mulai mengalami kemunduran balasan adanya banyak sekali perpecahan dalam dunia Islam, disamping banyak sekali macam serangan dari negara-negara barat. Berikut yaitu sejarah kebudayaan Islam terbaru dan kekinian selengkapnya. Banyak faktor pendukung bagi perkembangan peradaban Islam modern dan kontemporer di daerah Timur Tengah dan daerah Timur, di antaranya ialah aspek budaya, faktor sosial, aspek ekonomi, dan faktor politik. Di antara negara-negara yang mengalami pertumbuhan peradaban dalam klasifikasi terbaru dan kekinian yakni Turki, India, Iran dan kawasan sekitarnya. 1. Kota Baghdad Kota Baghdad diresmikan oleh khalifah Abbasiah kedua adalah Al Manshur (754-755 M), pada tahun 762 Masehi. Setelah mencari-cari kawasan yang strategis untuk dijadikan sebagaiibu kota, opsi jatuh pada daerah yang dinamakan Baghdad yang terletak tak jauh dari di sungai Tigris. Ia menugaskan beberapa orang jago untuk meneliti dan mempelajari lokasi. Setelah observasi seksama dikerjakan, tempat ini kesannya ditetapkan selaku ibu kota dan pembangunan pun di mulai. Dalam membangun kota ini, khalifah memperkerjakan banyak jago bangunan yang terdiri dari arsitektur, tukang kerikil, tukang kayu, hebat lukis, dan lain-lain. Mereka didatangkan dari Syiria, Mosul, Bashrah, dan Kufah yang berjumlah sekitar 100 ribu orang. Kota ini berupa bulat. Di sekelilingnya dibangun dinding tembok yang besar dan tinggi, di sebelah luar dinding tembok digali parit besar yang berfungsi sebagai jalan masuk air sekaligus sebagai benteng. Ada empat buah pintu gerbang di seputar kota ini, yang ditawarkan untuk setiap orang yang ingin memasuki kota. Keempat pintu gerbang itu yaitu bagian al­kuffah, bagian al­syam, bagian al­bashrah, bab al­khurasan. Di tengah-tengah kota terletak istana khalifah dengan seni arsitektur Persia. Istana ini populer dengan nama al­qashr al­dzahabi, yang berarti istana emas. Istana ini dilengkapi bangunan masjid, kawasan pengawal istana, polisi, dan daerah tinggal putra-putri dan keluarga khalifah. Di sekitar istana dibangun pasar daerah perbelanjaan dan jalan raya yang menghubungkan empat pintu gerbang. Sejak permulaan berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, Philip K. Hitti menyebutnya selaku Kota Intelektual. Setelah era Al Manshur, kota Baghdad menjadi kian masyhur karena kiprahnya selaku sentra pertumbuhan peradaban dan kebudayaan Islam.  Banyak ilmuwan dari banyak sekali daerah datang ke kota ini untuk mendalami ilmu pengetahuan. Masa keemasan kota Baghdad terjadi pada zaman pemerintahan khalifah Harun al Rasyid (786-809) dan anaknya al Makmun (813-833 M). Dari kota inilah menyembur sinar kebudayaan dan peradaban Islam ke seluruh dunia. Prestise politik, supremasi ekonomi, dan aktifitas intelektual ialah tiga keistemewaan kota ini. Kebesarannya tidak terbatas pada negeri Arab, tetapi mencakup seluruh negeri Islam. Baghdad saat itu menjadi pusat peradaban Islam dan kebudayaan yang tertinggi di dunia. Ilmu pengetahuan dan sastra meningkat sangat pesat. Banyak buku filsafat yang sebelumnya dipandang telah “ mati ” dihidupkan kembali dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Khalifah Al Ma’mun sendiri memiliki perpustakaan yang dipenuhi dengan ribuan buku ilmu pengetahuan. Perpustakaan itu bernama Bait Al­ Hikmah. Populasi masyarakatBaghdad berada pada kisaran 300.000 sampai 500.000 pada abad ke-9 Masehi. Pertumbuhan pesat Baghdad di abad-era permulaan mulai melambat balasan masalah kekhalifahan, tergolong pemindahan ibu kota ke Samarra (antara 808-819 dan 836-892), hilangnya provinsi-provinsi paling barat dan paling timur, dan kala dominasi politik oleh para Buwayhid Iran (945-1055) dan bangsa Turki Seljuk (1055-1135). Panen yang rusak dan pertengkaran intern membuat Baghdad runtuh. Meski begitu, kota ini tetap merupakan satu dari sekian banyak sentra kebudayaan dan jual beli dunia Islam sampai pada 10 Februari 1258 ia dihancurkan oleh bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan. Bangsa Mongol membunuh tak kurang dari 800.000 penduduk kota, termasuk Khalifah Abbasiyah al-Musta’sim, dan merusak sebagian besar kota. Kanal dan tanggul-tanggul yang membentuk sistem irigasi kota juga turut hancur. Perebutan Baghdad menyelesaikan kurun kekhalifahan Abbasiyah, sebuah pukulan keras yang tak pernah dapat dipulihkan dalam peradaban Arab. Baghdad pun lalu dipimpin oleh Khanid, penguasa Iran berkebangsaan Mongol. Pada tahun 1401, Baghdad dirusak kembali oleh bangsa Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk (“Tamerlane”). Ia menjadi ibu kota provinsi yang dipimpin dinasti-dinasti Jalayirid (1400-1411), Qara Quyunlu (1411-1469), Aq Quyunlu (1469-1508), dan Safavid (1508-1534). Pada 1534, Baghdad direbut oleh bangsa Turki Ottoman. Di bawah kekuasaan mereka, Baghdad mengalami era-periode suram, di antaranya alasannya adalah pertikaian antara penguasanya dengan Persia. Sebelumnya, Baghdad ialah kota paling besar di Timur Tengah sebelum posisinya diambil alih Konstantinopel pada kurun ke-16. Baghdad dikuasai oleh Kerajaan Ottoman sampai terbentuknya kerajaan Irak di bawah kekuasaan Britania Raya pada 1921, yang lalu dilanjutkan dengan kemerdekaan resmi pada 1932 dan kemerdekaan penuh pada 1946. Pengaruh Eropa ini juga mengubah tampang kota. Pada tahun 1920, Baghdad yang tumbuh dari lokasi tertutup seluas 254 mil persegi (657 km²) menjadi ibu kota negara gres Irak. Populasi masyarakatkota Baghdad tumbuh dari sekitar 145.000 pada 1900 menjadi 580.000 pada 1950. Pada tahun 1970-an, Baghdad sempat mengalami periode kemakmuran dan kemajuan karena tajamnya kenaikan harga minyak, ekspor utama Irak. Infrastruktur baru dibangun pada saat itu tergolong jalan masuk pembuangan terbaru, air, dan jalan tol. Dalam bidang sastra, kota Baghdad terkenal dengan hasil karya yang indah dan disukai orang. Di antara karya sastra yang populer yakni Alfu Lailah wa Lailah, atau dongeng seribu satu malam. Di kota Baghdad ini lahir dan timbul para saintis, ulama, filosof, dan sastrawan Islam yang terkenal, mirip al Khawarizm (jago astronomi dan matematika, penemu teori al Jabar), al Kindi (filosof Arab pertama), al Razi (filosof, ahli fisika dan kedokteran), al Farabi (filosof besar yang dijuluki dengan al­mu’allim al­tsani, guru kedua setelah Aristoteles). Dalam bidang ekonomi, perkembangannya berlangsung seiring dengan kemajuan politik. Pada zaman Harun al Rasyid dan al Makmun, jual beli dan industri berkembang pesat. Kehidupan ekonomi kota ini disokong oleh tiga buah pelabuhan yang ramai dikunjungi para kafilah dari dunia internasional (China, India, Asia Tengah, Syiria, Persia). 2. Kota Kairo (Mesir) Kota Kairo dibangun pada tanggal 17 Sya’ban 358 Hijriyah / 969 Masehi oleh panglima perang dinasti Fathimiah, Jawhar al Siqili, atas perintah khalifah Fathimiah, al Mu’izz li Dienillah (953-975 M), sebagai ibu kota kerajaan dinasti tersebut. Wilayah kekuasaan dinasti Fathimiah mencakup Afrika Utara, Sicilia, dan Syiria. Berdirinya kota Kairo selaku ibu kota kerajaan dinasti ini menciptakan Baghdad menerima saingan. Setelah pembangunan kota Kairo selesai lengkap dengan istananya, al Siqili mendirikan masjid al-Azhar pada 17 Ramadhan 359 H (970 Masehi). Masjid ini berubah menjadi suatu universitas besar yang sampai sekarang masih berdiri megah. Nama al Azhar diambil dari al Zahra’ Julukan Fatimah, puteri nabi Muhammad yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib. Kota yang terletak di tepi sungai Nil ini mengalami tiga kali periode kejayaan, adalah pada masa Dinasti Fathimiah, periode Shalahuddin al Ayyubi, dan era di bawah kepemimpinan Baybars dan al Nasyir pada periode dinasti Mamalik. Periode Fathimiah ini dimulai dengan al-Mu’izz dan puncaknya terjadi pada abad pemerintahan anaknya, al Aziz. Al Mu’izz melaksanakan tiga kebijakan besar, yakni pembaharuan dalam bidang manajemen, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama. Dalam bidang manajemen, dia mengangkat seorang wazir (menteri) untuk melaksanakan tugas-peran kenegaraan. Dalam bidang ekonomi, dia member honor khusus terhadap serdadu, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Dalam bidang agama, di Mesir diadakan empat forum peradilan, dua untuk madzhab Syi’ah dan dua untuk madzhab Sunni. Al Azis lalu mengadakan acara gres dengan mendirikan masjid-masjid, istana, jembatan, dan terusan-akses baru. Dinasti Fathimiah ditumbangkan oleh dinasti Ayyubiah yang diresmikan oleh Shalahuddin, seorang pahlawan Islam populer dalam Perang Salib. Ia tetap menjaga forum-lembaga ilmiah yang diresmikan oleh dinasti Fathimiyyah. Ia juga mendirikan lembaga-forum ilmiah gres, terutama masjid yang dilengkpi dengan kawasan berguru teologi dan hukum. Karya-karya ilmiah yang timbul pada masanya dan sesudahnya ialah kamus-kamus biografi, compendium sejarah, manual aturan, dan komentar-komentar teologi. Ilmu kedokteran diajarkan di rumah-rumah sakit. Prestasinya lainnya yaitu di dirikannya sebuah rumah sakit bagi orang cacat anggapan. 3. Kota Ishfahan (Persia) Ishfahan ialah kota terkenal di Persia, pernah menjadi ibu kota kerajaan Syafawiyah. Persia memiliki ciri-ciri kebudayaan seperti arsitektur dan kesenian yang sangat khas sehingga bisa digunakan selaku alat dalam penyebaran serta pengembangan agama Islam pada masa Islam modern dan kontemporer. Pengelompokkan keagamaan di Persia banyak mendapat perhatian dari pihak Arab sebab sistematika pengelompokannya sangat baik dan mudah dengan memakai dua corak kehidupan, Syiah dan Sunni. Ketika raja dinasti Syafawi, Abbas 1, mengakibatkan Ishfahan sebagai ibu kota kerajaan, kota ini menjadi kota yang luas dan ramai dengan penduduk. Kota ini terletak di atas sungai Zandah. Di atas sungai ini terhampar tiga buah jembatan yang megah dan indah, satu diantaranya terletak di tengah kota. Sementara dua lainnya di pinggiran kota. Kota ini, saat berada di bawah kekuasaan kerajaan Syafawi, dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tanah dengan delapan buah pintu. Di dalam kota banyak bangkit bangunan, mirip istana-istana, sekolah-sekolah, masjid-masjid, menara-menara, pasar, dan rumah-rumah yang indah, terukir rapi dengan warna-warna yang menawan. Masjid Syah yang masih ada hingga kini yang didirikan oleh Abbas 1, merupakan salah satu masjid terindah di dunia. Pintunya dilapisi dengan perak. 4. Kota Turki Pada tahun 2000 muncul cendikiawan muslim yang bernama Harun Yahya yang mampu melakukan perlawanan kepada sekularisme lewat beberapa fatwa dan dalam bidang lainnya. Ini ialah fenomena baru bagi masyarakatTurki dalam kala terbaru dan kekinian. Dalam faktor budaya dan sosial, tempat Turki banyak dihuni oleh suku Kurdi yang sering melakukan pemberontakan terhadap kebijakan publik karena perbedaan pengertian dalam bidang agama. Dalam faktor agama, masyarakat Turki mampu meningkat dan membuatkan pedoman Islam sebab mempunyai dua madzhab dalam mengerti ajaran Islam, ialah madzhab Sunni dan Syi’ah. Masing masing dari madzhab tersebut mempunyai pemimpin dan bergerak dalam bidangnya masing-masing tanpa mengganggu kegiatan di antara keduanya. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan kaisar turki yang membagi kawasan penyebaran masing-masing. Dalam hal arsitektur, masjid-masjid yang dibangun di sana membuktikan kemajuannya. Masjid memang merupakan suatu ciri dari sebuah kota Islam, daerah kaum muslimin mendapat fasilitas lengkap untuk melaksanakan keharusan agamanya. Masjid-masjid yang mempunyai arsitektur indah yakni Masjid Agung Al Muhammadi atau Masjid Agung Sultan Muhammad Al Fatih, Masjid Abu Ayyub Al Anshari (kawasan pelantikan para sultan utsmani). Masjid Bayajid dengan gaya Persia dan masjid Sulaiman al Qanuni. Itulah pembahasan perihal sejarah kebudayaan Islam terbaru dan kontemporer. Semoga bermanfaat.
Sumber https://dadanby.blogspot.com


EmoticonEmoticon