Dalam sejarah perjalanannya, kebudayaan dan peradaban Islam juga mengalami pasang surut. Hal ini juga tergantung ketimbang siapa pemimpinnya dan bagaimana dia menenteng kepemimpinannya itu. Disaat umat Islam mengalami kala-periode kejumudan senantiasa saja ada orang-orang yang tampil kedepan untuk mengingatkan kembali ihwal nilai-nilai Islam yang hakiki. Diawali dari timbulnya rasa keprihatinan, ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan, maka lahirlah anutan-aliran baru yang ingin merubah keadaaan tersebut. Berikut adalah klarifikasi selengkapnya wacana tokoh-tokoh pembaharuan dan modernisasi dunia Islam. 1. Muhammad Ali Pasya Muhammad Ali Pasha merupakan seorang keturunan Turki yang lahir pada bulan Januari 1765 Masehi di Kawalla, sebuah kota yang terletak di bab utara Yunani, dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. Negeri ini telah menjadi bagian kekuasaan Turki Utsmani yang berpusat di Istanbul sejak ditaklukkan oleh Sultan Muhammad II al Fatih (855/886 H-1451/1481 M) pada tahun 857 H/1453 M, dan gres mampu melepaskan diri dari kekuasaan Istanbul pada tahun 1245/1829 Masehi. Ayah Muhammad Ali Pasha berjulukan Ibrahim Agha, seorang imigran Turki, kelahiran Yunani. Muhammad Ali Pasha ialah seorang pembaharu Islam pada kurun 19 sampai kurun 20 Masehi. Ia yakni orang yang pertama kali meletakkan landasan kebangkitan modern di Mesir, Setelah hadirnya kesadaran umat Islam di Mesir akan kekurangan mereka dalam mengahadapi ekspedisi Perancis oleh Napoleon Bonaparte (1769-1821 Masehi). Muhammad Ali Pasha mulai melakukan upaya-upaya pembaharuan terhadap Mesir pada tahun 1765-1848 Masehi. Ketika Muhammad Ali Pasha masuk dalam dinas militer, dia juga memperlihatkan kecakapan dan kesanggupannya sehingga pangkatnya cepat naik menjadi perwira. Ketika pergi ke Mesir dia sudah sukses menduduki jabatan wakil perwira dan memimpin pasukan yang dikirim dari daerahnya. Ia adalah seorang perwira yang sukses merebut kekuasaan di Mesir setelah serdadu Perancis kembali ke Eropa tahun 1801 Masehi. Muhammad Ali Pasha kemudian menjadi penguasa penuh Mesir. Ia menjadi wakil resmi sultan (Kerajaan Utsmani) di Mesir. Untuk memajukan Mesir, Muhammad Ali Pasha melakukan pembenahan ekonomi dan militer. Atas usulan para penasihatnya, dia juga melaksanakan program pengantaran serdadu untuk mencar ilmu di Eropa. Pemerintahan Muhammad Ali Pasha membedakan pembaharuan yang ada antara struktur politik dan keagamaan di Mesir. Sejak Muhammad Ali Pasha menguasai Mesir, dia telah banyak melakukan upaya pembaharuan, baik dalam bidang politik, militer, ekonomi, pemerintahan maupun pendidikan. Proses pembaharuan ini dipengaruhi oleh proses transformasi dan majunya ilmu wawasan serta teknologi, baik dalam kehidupan sosial maupun kemajuan intelektual yang lahir dari sebuah paradigma baru. Menurut Muhammad Ali Pasha, kunci utama untuk membuat langgengnya kekuasaan yaitu mengganti tata cara militer. Kemudian Muhammad Ali Pasha memanggil seorang Kolonel Perancis bernama Seve, yang memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Sulaiman Pasha. Ia ditugaskan untuk melatih dan memodernisasikan angkatan bersenjata di Mesir. Muhammad Ali Pasha juga mengupayakan wawasan mengenai administrasi negara. seperti: Kementerian Pendidikan pada tahun 1815 M, yang sebelumnya tidak diketahui . Sekolah Militer (1815 M), pembentukan sekolah ini untuk memperkuat kekuasaannya di Mesir. Sekolah Teknik (1816 M), diresmikan biar rakyat Mesir mampu memproduksi persenjataan dan mempunyai keahlian dalam berperang. Sekolah Kedokteran (1827 M). Sekolah Apoteker (1829 M). Sekolah Pertambangan (1834 M). Sekolah Pertanian (1836 M). Sekolah Penerjemahan (1836 M). Adapun untuk tenaga pengajarnya Muhammad Ali Pasha mengambil Guru dari Eropa utamanya Perancis, Inggris dan Italia. Sedangkan untuk mengetahui ilmu pengetahuan Barat, Muhammad Ali Pasha mengantarkan beberapa pelajar ke luar negeri. Begitu pula dengan para terpelajar berilmu yang dipimpin oleh Rifa’ah At Tahtawi. Selain itu, beliau juga menyelenggarakan pembaharuan dalam bidang administrasi dan birokrasi yang dianggap sangat penting pengaruhnya bagi penduduk Mesir, alasannya adalah masyarakat perlu dikelompokkan dalam sebuah teladan budaya, tipe, dan organisasi. Sedang dalam bidang pertanian, Muhammad Ali Pasha memasok para petani dengan bibit-bibit pertanian, alat-alat pertanian dan pupuk untuk dikembangkan oleh para petani. Dengan beberapa pembaharuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Ali Pasha, Mesir sudah banyak mengalami kemajuan di banyak sekali bidang. Meskipun mungkin bisnisnya itu belum mampu menandingi kejayaan bangsa Eropa dikala itu, tetapi setidaknya dia sudah memberikan prestasi yang gemilang terhadap pembaharuan di Mesir. 2. Muhammad Abduh Muhammad Abduh lahir di Delta Nil yang sekarang masuk dalam daerah Mesir semenjak tahun 1849. Ayahnya berjulukan Abduh Hasan Khairullah, seorang imigran yang berasal dari Turki dan telah lama menetap di Mesir. Adapun sang ibu berkebangsaan Arab yang mempunyai garis keturunan dari Khalifah Umar Ibn Khatab ra. Kedua orang tua Abduh tinggal di desa Mahallah Nashr. Setelah berpindah-pindah ke banyak tempat. Abduh kecil hingga sampaumur banyak menggeluti pelajaran membaca dan menulis, dan pada usia 12 tahun dia sudah bisa menghafal al Qur’an dalam panduan pribadi sang ayah. Pemikiran-aliran cemerlangnya mulai timbul saat ia dikirim belajar secara formal oleh ayahnya ke Perguruan di Masjid Ahmadi untuk mempelajari pelajaran, seperti : Bahasa Arab, Nahwu, Shorof, dan lain-lain, yang terletak di desa Thanta, salah satu desa di Mesir. Namun, beliau merasa bahwa apa yang dipelajarinya sangat monoton dan dia tidak memahami apa maksud dari ilmu yang dia peroleh, sebab dia hanya menghafal pelajaran-pelajaran itu tanpa tahu apa substansinya. Ia tidak puas dengan sistem berguru yang ada, yang hanya mementingkan hafalan tanpa mengetahui pengertian dari yang dipelajarinya itu. Bahkan ia berpikir lebih baik tidak berguru dari pada menghabiskan waktu cuma untuk menghafal ungkapan-ungkapan nahwu dan fikih yang tidak dipahaminya, sehingga beliau kembali ke Mahallah Nashr (kampungnya) dan hidup sebagai petani serta melangsungkan pernikahan dalam usia 16 tahun. Sang ayah tidak menyepakati langkah yang diambil oleh Abduh, beliau memerintahkan Abduh untuk kembali ke Thanta dan menekuni kembali pelajarannya. Dengan terpaksa ia pun kembali ke Thanta. Namun, di tengah perjalanan ia membelokkan langkah kakinya menuju sebuah desa tempat tinggal pamannya, adalah Syaikh Darwsy Khadir (paman dari ayah Muhammad Abduh) di Kanisah Urin. Syaikh Darwisy yakni seorang penganut pemikiran tasawuf Thariqah Syadziliyah dan mempunyai pengetahuan yang luas. Syaikh Darwsy mengenali alasannya-karena keengganan Abduh untuk belajar di Thanta, maka ia senantiasa mengajak Muhammad Abduh agar membaca buku bersamanya. Kisah perjalanan hidup Muhammad Abduh diabadikan dalam buku yang berjudul “Muzakirat al Imam Muhammad Abduh” karya muridnya, Muhammad Rasyid Ridla. Setiap barisnya Darwisy menunjukkan klarifikasi yang luas ihwal arti dan maksud yang terkandung dalam kalimat tersebut. Akhinya Muhammad Abduh berubah sikapnya terhadap buku dan ilmu wawasan. Dia mulai paham dengan apa yang dibacanya, lalu ia kembali ke Thanta pada bulan Oktober 1865 Masehi. Muhammad Abduh lalu melanjutkan pendidikan di Thanta, akan tetapi cuma 6 bulan lalu pergi menuju al Azhar yang diyakininya sebagai daerah mencari ilmu yang sesuai untuknya. Di al Azhar, beliau pun cuma mendapatkan pelajaran ilmu-ilmu agama dengan sistem yang sama dengan di Thanta. Hal ini menjadikannya kembali kecewa. Dalam salah satu tulisannya dia menyatakan rasa kecewanya tersebut dengan menyatakan bahwa sistem pengajaran yang verbalis itu sudah merusak nalar dan daya nalarnya. Rasa kecewa itulah yang menimbulkan Abduh jadinya menggeluti dunia sufistik. Pada tahun 1871 Abduh bertemu dengan Jamaludin al Afghani yang tiba ke Mesir pada tahun itu. Dari al Afghani, dia menerima wawasan filsafat, ilmu kalam dan ilmu pasti (eksak). Meskipun sebelumnya ia telah menerima ilmu-ilmu tersebut di luar al Azhar, namun metode yang digunakan oleh al Afghany yaitu metode yang sudah usang dicarinya selama ini, sehingga ia lebih puas mendapatkan ilmu-ilmu itu dari guru barunya tersebut. Ia mengajar manthiq (nalar), tasawuf, fisafat, ilmu pasti dan lain-lain di rumahnya. Ia mememiliki pedoman dan semangat tinggi untuk memutus mata rantai kejumudan berfikir dan cara-cara berfikir yang fanatik. Akhirnya Muhammad Abduh menjadi pencetus penyebaran ajaran Jamaluddin al Afghany di kampus al Azhar hingga meningkat luas ke seluruh Mesir bahkan dunia. Setelah Abduh menuntaskan studinya di al Azhar pada tahun 1877, atas perjuangan Perdana Menteri Mesir, Riadl Pasya, beliau diangkat menjadi dosen pada Universitas Darul Ulum, Universitas al-Azhar, dan perguruan bahasa Khadevi. Ia mengajarkan berbagai mata pelajaran mirip teologi, sejarah, ilmu politik dan kesusastraan Arab. Pada tahun 1877-1882 masehi, beliau diasingkan ke Beirut alasannya adalah terlibat gerakan politik, dia dituduh bersekongkol untuk menggulingkan Khadevi Tawfik. Di pengasingan ini ia melakukan pekerjaan selaku guru sekaligus penulis. Kegiatan pembelajaran dilanjutkannya lagi di Beirut. Ia menterjemahkan kitab-kitab ke dalam bahasa Arab. Di Beirut pula dia menyelesaikan penulisan bukunya yang termasyur Risalah al Tawhid yang mulai ditulisnya semasa mengajar di Madrasah Sulthaniyah, di samping beberapa buku terjemahan lainnya. Untuk kepentingan gerakan, Syaikh Muhammad Abduh telah menulis beberapa buku, antara lain al Islam wa Nashraniyah ma’al Ilmi wal Madaniyah. Tahun 1888 ia kembali ke Mesir setelah tamat masa pengasingannya. Ia diperbolehkan kembali ke kota Kairo dan diberi iktikad memimpin surat kabar al Waqa’i al Mishriyah. Pada tahun 1882 bersama Urabi Pasya, Abduh ikut bergabung dalam gerakan politik menentang ketidakadilan negara. Ia lalu diasingkan lagi ke Beirut dan Perancis. Di Perancis dia bertemu kembali dengan Jamaluddin al-Afghani dan lalu mempublikasikan majalah alUrwatul Wutsqa. Lalu beliau kembali lagi ke Mesir. Namun sebab pemerintah merasa cemas akan dampak Abduh yang kian diterima masyarakat luas, kesannya Abduh tidak diperbolehkan mengajar oleh pemerintah Mesir. Ia lalu melakukan pekerjaan selaku hakim agama (mufti) dan menjadi anggota majelis al A’la al Azhar yang berhasil membawa pergantian-pergeseran di forum pendidikan tertua tersebut. Ia diangkat menjadi mufti semenjak tahun 1899. Pembaharuan kedua yang dilakukannya yaitu ketika beliau menjabat sebagai mufti di tahun 1899 menggantikan Syaikh Hasanuddin al-Nadawi. Usaha pertama yang dilakukannya yakni memperbaiki persepsi penduduk bahkan persepsi para mufti sendiri tentang kedudukan mereka selaku hakim. Para mufti sebelumnya berpandangan, bahwa mufti betugas sebagai penasehat aturan bagi kepentingan negara. Diluar itu seakan mereka melepaskan diri dari penduduk lazim yang mencari kepastian aturan. Namun bagi Abduh, seorang mufti bukan cuma bekerja pada negara, tetapi juga pada penduduk luas. Dengan demikian kedatangan Muhammad Abduh tidak hanya diharapkan oleh negara tetapi juga oleh penduduk luas. Langkah pembaharuan ketiga yang dilakukannya yakni dengan mendirikan organisasi sosial yang bernama al Jami’at al Khairiyyah al Islamiyyah pada tahun 1892. Organisasi ini bertujuan menyantuni fakir miskin dan bawah umur dari keluarga yang tidak bisa. Selain itu, forum wakaf juga merupakan salah satu institusi yang tidak luput dari perhatiannya, sehingga dia membentuk majelis administrasi wakaf dan berhasil memperbaiki perangkat masjid. Namun demikian, tidak semua pandangan baru dan ajaran pembaharuan yang dilakukannya mampu diterima oleh penguasa dan pihak al-Azhar. Penghalang utama yang dihadapinya adalah para ulama yang berpikiran statis beserta masyarakat awam. Ketika menghadapi banyak rintangan tersebut Abduh jatuh sakit dan meninggal pada 8 Jumadil Awal 1323 H/ 11 Juli 1905. Jenazah Muhammad Abduh dikebumikan di pemakaman negara Mesir di Kairo. Berikut yaitu faktor-faktor yang mensugesti aliran Muhammad Abduh, antara lain : Faktor sosial, berupa sikap hidup yang dibentuk oleh keluarga dan gurunya, terutama Syaikh Darwisy dan Sayyid Jamaludin al-Afghani. Di samping itu, aspek lingkungan dan sistem pendidikan di Thanta dan Mesir yang tidak efektif, serta perilaku keagamaan yang statis dan adanya anggapan-fikiran yang jumud yang dia dapatkan di masyarakat. Faktor kebudayaan, berbentukilmu yang diperolehnya selama belajar di sekolahsekolah formal sekaligus efek eksklusif anutan Jamaludin al-Afghani, serta pengalaman yang ditimbanya dari Barat saat ia diasingkan ke Perancis. Faktor politik yang bersumber dari situasi politik di masanya semenjak beliau masih tinggal di lingkungan keluarganya di Muhallaf Nashr, hingga saat beliau kuliah hingga ia wafat. Ketiga faktor di atas ialah hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya pedoman Muhammad Abduh dalam berbagai bidang, baik teologi, syari’ah, pendidikan, sosial, politik, sampai kebudayaan. Gerakan pembaharuan Islam yang dilakukan Muhammad Abduh tidak terlepas dari karakter dan sopan santun yang terbentuk sejak dia kecil, ialah cinta pada ilmu wawasan. Muhammad Abduh memiliki 3 (tiga) acara pembaharuan, ialah: 1. Purifikasi Purifikasi atau pemurnian aliran Islam merupakan fokus perhatian serius Muhammad Abduh berkaitan dengan hadirnya bid`ah dan khurafat yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslim. Dalam persepsi Muhammad Abduh, seorang muslim wajib menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan syirik dalam bentuk apapun. 2. Reformasi Pendidikan Islam Reformasi pendidikan Islam difokuskan Muhammad Abduh pada universitas Al Azhar tempat dia menimba ilmu. Ia menyatakan bahwa keharusan mencar ilmu tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi doktrindoktrin pedoman Islam. Namun, keharusan mencar ilmu juga terletak pada mempelajari ilmu wawasan modern, serta sejarah dan agama Eropa, semoga dimengerti alasannya adalah-alasannya adalah pertumbuhan yang telah mereka capai. Selain itu, dalam bidang pendidikan nonformal Muhammad Abduh juga menyebutkan pentingnya upaya perbaikan (ishlah). Dalam hal ini Muhammad Abduh melihat perlunya campur tangan pemerintah utamanya dalam hal mempersiapkan para pendakwah. Tugas mereka yang utama yaitu: Menyampaikan kewajiban dan pentingnya mencar ilmu. Mendidik mereka dengan menunjukkan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau yang belum mereka pahami. Memberikan semangat ke dalam jiwa para pendakwah untuk cinta pada negara, tanah air, dan pemimpin. 3. Pembelaan Atas Islam Karya Risalah al Tauhid yang ditulis oleh Abduh dimaksudkan untuk mempertahankan jati diri Islam. Hasratnya untuk menghilangkan unsur-bagian abnormal dalam paham keislaman merupakan bukti bahwa beliau tetap yakin dengan kemandirian Islam. Muhammad Abduh tidak pernah menaruh perhatian terhadap paham-paham filsafat anti-agama yang saat itu marak di Eropa. Muhammad Abduh berupaya mempertahankan jati diri Islam dengan menegaskan bahwa jikalau fikiran dimanfaatkan sebagaimana mestinya, maka hasil yang dicapainya otomatis akan selaras dengan kebenaran ilahi yang dipelajari melalui agama. Ia sungguh menjunjung tinggi ijtihad alasannya adalah ijtihad mengambarkan bahwa Islam tidak diturunkan untuk mendukung kejumudan, akan tetapi Islam diturunkan bergerak dinamis seiring kemajuan insan dan dilema-masalah kemanusiaan. 3. Muhammad Iqbal Muhammad Iqbal lahir Sialkot, Punjab, India pada tanggal 9 November 1877 Masehi. Ia dikenal juga dengan nama ‘Allama Iqbal. Ayahnya Nur Muhammad, pada mulanya adalah seorang pegawai negeri, kemudian menjadi seorang pedagang yang menempuh jalur sufistik. Mengenai nama ibunya tidak banyak sumber tertulis yang menjabarkannya. Namun dari syair yang dibentuk oleh Iqbal tampak bahwa ibunda Iqbal ialah seorang perempuan yang taat beragama, besar kecintaannya pada anaknya, demikian pula Iqbal juga mencintainya. Dengan demikian, Iqbal lahir dari ibu dan bapak yang serupa-sama taat. Pendidikan pertama Iqbal diperoleh dari ayahnya dengan berguru al Qur’an sekaligus menghafalnya. Sekolah pertamanya di The Scottish Mission College dikampung halamannya di Sialkot. Gurunya antara lain yaitu Mir Hasan, seorang ulama besar dan guru dalam ilmu sastra Persia dan Arab. Dialah yang pertama kali menempa pelajaran agama ke dalam jiwa Muhammad Iqbal. Sejak itu, Muhammad Iqbal gemar menggubah syair-syiar dalam bahasa Urdu. Sesudah menikah, pada tahun 1895 Iqbal hijrah ke Lahore untuk melanjutkan sekolah tingkat atas. Di sekolah inilah Iqbal alhasil bertemu dengan Orientalis Inggris populer, Sir Thomas Arnold, yang secepatnya menyadari kecerdasan Iqbal. Orientalis yaitu sebutan untuk ilmuwan Barat yang kepincut mendalami kajian keislaman di dunia timur. Sir Thomas mendorong Iqbal untuk melanjutkan studi di Inggris. Akhirnya dia berangkat ke Inggris pada tahun 1905 untuk belajar filsafat dan aturan. Guru terkemukanya di Cambridge ialah Nco-Hegelian Motaggart. Pada tahun 1907 beliau lalu meninggalkan Inggris menuju Jerman, mempelajari bahasa di Haidelbarg dan mengajukan tesisnya wacana pertumbuhan metafisika di Persia (The Development of Metaphisich in Persia). Setelah berhasil memperoleh gelar Doktor bidang filsafat dari Munich, Jerman, Iqbal kembali ke London, memberi kuliah di musim semi tahun 1908 ihwal topik-topik keislaman, kemudian kembali ke India pada animo panas. Sejak itu ia aktif menunjukkan kuliah wacana filsafat dan sastra Inggris di India. Ia juga terjun selaku pengacara. Ketika itu ia menyatakan: I would like to see the Punjab, Nort West Frontior Province, Sind and Balochistan amalgamated into a single State (aku ingin menyaksikan Punjab, daerah perbatasan barat maritim, Sindi dan Balukistan menyatu menjadi satu negara tersendiri). Selanjutnya pada tanggal 14 Agustus 1947 lahir suatu negara bernama Pakistan yang ialah potongan dari negara India. Iqbal yang telah menyatakan perlunya negara tersendiri bagi komunitas muslim tersebut lalu dipandang selaku “Bapak Pakistan”. Berikut yakni 3 buah gagasan Iqbal sebagai kontribusinya dalam gerakan pembaharuan Islam terbaru antara lain: 1. Pan Islamisme Obsesi Iqbal tentang terbentuknya negara tersendiri bagi komunitas muslim tidaklah bertentangan dengan faham Pan Islamisme. Iqbal menyatakan bahwa Islam bukan nasionalisme dan bukan pula imperialisme, melainkan sebuah lembaga bangsa-bangsa yang mengakui adanya batas-batas-batasan perbedaan rasial, namun itu cuma untuk memudahkan perkenalan belaka (li ta’arofuu), dan bukan untuk menghalangi cakrawala sosial para anggotanya. 2. A Free Personal Causality Respon Iqbal terhadap kemandegan dan kejumudan intelektual umat Islam termasuk juga komunitas muslim di India dia sampaikan lewat fatwa-pemikirannya antara lain wacana ego atau kehendak insan: keleluasaan dan keabadiannya. Iqbal mengemukakan bahwa adanya kebebasan manusia, selaku dasar adanya pertanggung jawaban. Ia menatap keinginansebagai “a free personal causality” atau aturan alasannya akhir dari kehendak eksklusif. Manusia bebas melakukan kehendaknya, tetapi dia memerlukan pertanggungjawaban dari pelakunya. Termasuk dalam rancangan ini ialah pendapatnya wacana ijtihad. Bahkan berdasarkan Iqbal ijtihad ialah “the principle of movement in the structure of Islam”. Dengan demikian, dalam desain ijtihad terdapat pula faktor perubahan, alasannya dengan adanya pergeseran itulah ijtihad perlu dikerjakan. Bukan hanya adanya pergantian, bahkan juga dinamika alam semesta. Dari sinilah Iqbal amat pintar menemukan pemikiran dinamisme. Ia menangkap adanya prinsip dinamika hampirprinsip dinamika ini. 3. Faham Dinamisme Faham inilah yang membuat Iqbal memiliki kedudukan penting dalam pembaharuan di India. Terapi Iqbal dengan faham dinamikanya ini amat sempurna dilihat dari sudut keminoritasan komunitas muslim ditengah-tengah komunitas Hindu yang dominan, alasannya dengan menyuntikkan semangat dinamisasi ke dalam komunitas muslim menyebabkan mereka mampu tampil dengan eksistensinya (keberadaannya) secara sarat . 4. Jamaluddin Al Afghani Jamaluddin Al Afghani lahir di As’adabad, dekat Kanar di Distrik Kabul, Afghanistan, pada tahun 1839, dan meninggal di Istambul tahun 1897. Al Afghani beropini bahwa kemunduran umat Islam disebabkan antara lain alasannya umat telah meninggalkan pedoman-aliran Islam yang bantu-membantu. Ajaran qadha dan qadar sudah menjelma pemikiran fatalisme yang menjadikan umat menjadi statis. Sebab-sebab lain adalah perpecahan di kalangan umat Islam sendiri, lemahnya persaudaraan antara umat Islam dan lain-lain. Untuk menangani semua hal itu, menurut pendapatnya umat Islam harus kembali terhadap pemikiran Islam yang benar, mensucikan hati, memuliakan adat, berkorban untuk kepentingan umat, pemerintah otokratis harus diubah menjadi demokratis. Ia juga mengusulkan umat Islam untuk mengembangkan pendidikan secara umum, yang tujuan hasilnya untuk memperkuat dunia Islam secara politis dalam menghadapi dominasi dunia Barat. Ia beropini tidak ada sesuatu dalam fatwa Islam yang tidak cocok dengan nalar ilmu pengetahuan, atau dengan kata lain Islam tidak berlawanan dengan ilmu pengetahuan. Berikut yaitu wangsit-pandangan baru pembaharuan dan fatwa politik dari Jamaludin al Afghani perihal negara dan metode pemerintahan, adalah : 1. Bentuk Negara dan Pemerintahan Menurut al Afghani, Islam mengharapkan bahwa bentuk pemerintahan yakni harus tunduk kepada Undang-Undang. Pendapat mirip ini termasuk baru dalam sejarah politik Islam yang selama itu cuma mengenal bentuk khalifah yang mempunyai kekuasaan otoriter. Pendapat ini terlihat dipengaruhi oleh pedoman Barat, sebab Barat lebih dahulu mengenal pemerintahan republik, meskipun pengertian al-Afghani tentunya tidak lepas dari prinsip-prinsip pemikiran Islam yang berhubungan dengan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan. 2. Sistem Demokrasi Dalam tata cara pemerintahan yang absolut dan otokratis tidak ada keleluasaan berpendapat. Kebebasan cuma dimiliki para raja/kepala negara untuk bertindak dan tidak dikontrol oleh Undang-undang. Karena itu al Afghani menghendaki supaya corak pemerintahan absulot diganti dengan dengan corak pemerintahan demokratis. Pemerintahan demokratis ialah salah satu identitas paling khas dari pemerintahan berbentuk republik. Demokrasi adalah pasangan pemerintahan republik sebagaimana meningkat di Barat dan dipraktekkan oleh Mustafa Kemal Attaturk di Turki selaku ganti tata cara pemerintahan khalifah. Dalam pemerintahan negara yang demokratis, kepala negara harus mengadakan syura (musyawarah) dengan pemimpin-pemimpin penduduk yang berpengalaman, sebab pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali dan syura diperintahkan oleh Allah dalam Al Qur’an biar mampu dipraktikkan dalam aneka macam persoalan. Selanjutnya, para pemegang kekuasaan haruslah orang-orang yang paling taat terhadap undang-undang. Kekuasaan yang diperoleh tidak lantaran kecanggihan suku, ras, kekuatan material dan kekayaan. Baginya kekuasaan itu harus diperoleh lewat penyeleksian dan disepakati oleh rakyat. Dengan demikian orang yang terpilih mempunyai dasar hukum untuk melaksanakan kekuasaan itu. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa sumber kekuasaan berdasarkan al Afghani yaitu rakyat, karena dalam pemerintahan republik, kekuasaan atau kedaulatan rakyat terlembaga dalam perwakilan rakyat yang anggotanya diseleksi oleh rakyat. 3. Pan Islamisme (Solidaritas Islam) Jamaludin Al Afghani menghendaki adanya persatuan umat Islam baik yang negaranya sudah merdeka maupun masih dalam jajahan bangsa Barat. Gagasannya ini populer dengan istilah Pan Islamisme. Ide besar ini menginginkan terjalinnya kerjasama antara negara-negara Islam. Kerjasama itu menuntut adanya rasa tanggungjawab bareng dari tiap negara terhadap umat Islam dimana saja mereka berada. Persatuan umat Islam sungguh-sungguh menjadi tema pokok pada setiap tulisan al Afghani. Ia menghendaki biar umat Islam menanggulangi perbedaan kepercayaan dan kebiasaan permusuhan. Perbedaan sekte tidak perlu menjadi kendala dalam politik, dan kaum muslimin mesti mengambil pelajaran dari pola Jerman yang kehilangan kesatuan nasionalnya sebab terlalu memandang penting perbedaan agama. Bahkan perbedaan besar dalam iman daerah teluk, antara sunni dan syi’ah, dapat dijembatani sehingga ia menyerukan terhadap bangsa Persia dan Afghan agar bersatu, meskipun yang pertama ialah syi’ah dan yang kedua non-syiah, dan selama masa-kala simpulan hidupnya beliau melontarkan wangsit rekonsiliasi lazim dari kedua sekte tersebut. Jamaludin Al Afghani menekankan solidaritas sesama muslim alasannya ikatan agama, bukan ikatan etnik atau rasial. Inilah inspirasi asli yang merupakan bentuk solidaritas umat yang dikenal dengan Pan Islamisme atau al Jami’ah al Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam sedunia). Demikian pembahasan ihwal tokoh-tokoh pembaharuan dan modernisasi dunia Islam. Semoga bermanfaat. Sumber https://dadanby.blogspot.com
Minggu, 19 April 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon