Minggu, 05 April 2020

Tokoh-Tokoh Perjuangan Umat Islam Indonesia Pada Periode Kebangkitan Nasional

Dalam menghadapi penjajahan dari pihak ajaib, penduduk nusantara waktu itu belum mempunyai satu tujuan adalah satu usaha kemerdekaan bangsanya, alasannya masih terpecah-pecah karena pemerintahan ketika itu masih berupa kerajaan-kerajaan antar daerah yang satu dengan yang yang lain. Hal inilah yang memudahkan para penjajah untuk mengadu domba masyarakat Indonesia. Akhirnya pada masa kebangkitan inilah lahir tokoh-tokoh yang memikirkan bagaimana agar rakyat Indonesia ini bersatu dalam menjaga kawasan negerinya meskipun beda suku, ras dan agamanya. Berikut adalah penjelasan tentang tokoh-tokoh usaha umat Islam Indonesia pada kala kebangkitan nasional.   1. HOS Cokroaminoto (Hadji Oemar Said Tjokroaminoto) HOS Cokroaminoto lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 6 Agustus 1882 dan meninggal di Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada ketika itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat selaku bupati Ponorogo. Sebagai salah satu pencetus pergerakan nasional, ia memiliki beberapa murid yang selanjutnya memperlihatkan warna bagi sejarah pergerakan Indonesia, yaitu Musso yang sosialis/komunis, Soekarno yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang agamis. Namun ketiga muridnya itu saling berselisih. Pada bulan Mei 1912, Tjokroaminoto bergabung dengan organisasi Sarekat Islam.  Sebagai pimpinan Sarikat Islam, HOS dikenal dengan kebijakan-kebijakannya yang tegas namun bersahaja. Kemampuannya berdagang membuatnya seorang guru yang disegani karena mengenali tatakrama dengan budaya yang bermacam-macam. Pergerakan SI yang pada awalnya selaku bentuk protes atas para pedagang gila yang tergabung selaku Sarekat Dagang Islam yang oleh HOS dianggap selaku organisasi yang terlalu mementingkan jual beli tanpa mengambil daya tawar pada bidang politik.  Dan pada akhirnya tahun 1912 SDI berubah menjadi Sarekat Islam, SI digiring menjadi partai politik sehabis menerima status Badan Hukum pada10 September 1912 oleh pemerintah yang saat itu dikontrol oleh Gubernur Jenderal Idenburg. SI kemudian menjelma parpol dengan keanggotaan yang tidak terbatas pada penjualdan rakyat Jawa-Madura saja.  Kesuksesan SI ini membuatnya salah satu aktivis partai Islam yang berhasil saat itu. Perpecahan SI menjadi dua kubu alasannya adalah masuknya infiltrasi komunisme memaksa HOS Cokroaminoto untuk bertindak lebih hati-hati periode itu. Ia bareng rekan-rekannya yang masih yakin bersatu dalam kubu SI putih bertentangan dengan Semaun yang berhasil membujuk tokoh-tokoh perjaka saat itu seperti Alimin, Tan Malaka, dan Darsono dalam kubu SI Merah.  Namun bagaimanapun, kewibawaan HOS Cokroaminoto justru diharapkan selaku penengah di antarakedua belahan SI tersebut, mengenang ia masih dianggap guru oleh Semaun. Akhirnya Semaun dan Darsono dikeluarkan dari SI. Pada tahun 1929, SI diusung selaku Partai Sarikat Islam Indonesia sampai menjadi peserta pemilu pertama pada 1955.  HOS Cokroaminoto sampai ketika ini balasannya diketahui selaku salah satu satria pergerakan nasional yang berbasiskan perdagangan, agama, dan politik nasionalis. Kata- kata mutiaranya mirip “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-berilmu siasat” balasannya menjadi embrio pergerakan para tokoh pergerakan nasional yang patriotik, dan ia menjadi salah satu tokoh yang sukses menerangkan besarnya kekuatan politik dan perdagangan Indonesia. H.O.S. Cokroaminoto meninggal di Yogyakarta pada 17 Desember 1934 pada usia 52 tahun. 2. Kiai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwisy w.1923 M) Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 dan meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) yakni seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Dia yaitu putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib ternama di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada abad itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan ialah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada kurun itu.  Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan yakni Muhammad Darwisy. Dia ialah anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya wanita, kecuali adik bungsunya. Dia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang ternama di antara Walisanga, yakni penggerak penyebaran agama Islam di Jawa.  Silsilahnya tersebut yakni Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, kiai Ilyas, kiai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, K.H. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).  Pada umur 15 tahun, dia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada masa ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-ajaran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha wwwdan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.  Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada era ini, ia sempat mencar ilmu terhadap Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, dia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta. Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan impian pembaharuan Islam di bumi Nusantara.  Ahmad Dahlan ingin menyelenggarakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan berinfak menurut tuntunan agama Islam. Dia ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup berdasarkan tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini bangun bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan sejak awal Ahmad Dahlan sudah memutuskan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik namun bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.  Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk menerima tubuh aturan. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk tempat Yogyakarta dan organisasi ini cuma boleh bergerak di daerah Yogyakarta.  Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kegalauan akan perkembangan organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, namun di kawasan lain mirip Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain sudah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas berlawanan dengan cita-cita pemerintah Hindia Belanda.  Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan mengusulkan semoga cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut. Sedangkan di Solo bangun perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang menerima pimpinan dari cabang Muhammadiyah.  Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri beliau merekomendasikan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk menyelenggarakan pengajian dan mengerjakan kepentingan Islam. Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasirelasi dagang yang dimilikinya.  Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari penduduk di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari aneka macam daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan perlindungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama kian meningkat hampir di seluruh Indonesia. Oleh alasannya adalah itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan terhadap pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia.  Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921. Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam menghidupkan kesadaran bangsa Indonesia lewat pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961.  Dasar-dasar penetapan itu adalah selaku berikut:  KH. Ahmad Dahlan sudah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus berguru dan berbuat. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, sudah banyak menawarkan fatwa Islam yang murni terhadap bangsanya. Ajaran yang menuntut pertumbuhan, kecerdasan, dan berzakat bagi penduduk dan umat, dengan dasar iktikad dan Islam dengan organisasinya. Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat dibutuhkan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa pedoman Islam dan dengan organisasinya, Muhammadiyah bab wanita (Aisyiyah) sudah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum laki-laki. 3. Kiai Haji Mohammad Hasjim Asy'ari (w. 1947 M) KH. Hasyim Asy 'Ari lahir di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871 meninggal di Jombang, Jawa Timur pada umur 76 tahun; 24 Dzul Qo'dah 1287 H- 3 Ramadhan 1366 H, dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang ialah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.  Di kalangan Nahdliyin dan ulama pesantren dia dijuluki dengan sebutan Hadratus Syeikh yang berarti maha guru. K.H Hasjim Asy'ari yaitu putra ketiga dari 10 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asy'ari, pemimpin Pondok Pesantren yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Sementara kesepuluh saudaranya antara lain: Nafi'ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan.  Berdasarkan silsilah garis keturunan ibu, K.H. Hasjim Asy'ari mempunyai garis keturunan baik dari Sultan Pajang Jaka Tingkirjuga mempunyai keturunan ke raja Hindu Majapahit, Raja Brawijaya V (Lembupeteng). K.H. Hasjim Asy'ari berguru dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang.  Sejak usia 15 tahun, dia berkelana berguru di banyak sekali pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.  Pada tahun 1892, K.H. Hasjim Asy'ari pergi belajar ke Mekah, dan berguru pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi, Syekh Ahmad Amin Al Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi.  Di Makkah, mulanya K.H. Hasjim Asy'ari mencar ilmu di bawah panduan Syaikh Mafudz dari Termas (Pacitan) yang ialah ulama dari Indonesia pertama yang mengajar Sahih Bukhori di Makkah. Ia menerima ijazah langsung dari Syaikh Mahfudz untuk mengajar Sahih Bukhari, di mana Syaikh Mahfudz ialah pewaris terakhir dari pertalian penerima (Isnad) hadis dari 23 generasi akseptor karya ini.  Selain belajar hadis dia juga belajar tassawuf (sufi) dengan mendalami Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. K.H. Hasjim Asy'ari juga mempelajari fiqih madzab Syafi'i di bawah asuhan Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau yang juga mahir dalam bidang astronomi (ilmu falak), matematika (ilmu hisab), dan aljabar.  Pada kala belajar pada Syaikh Ahmad Khatib inilah K.H. Hasjim Asy'ari mempelajari Tafsir Al-Manar karya monumental Muhammad Abduh. Pada prinsipnya ia mengagumi rasionalitas pemikiran Abduh akan namun kurang baiklah dengan ejekan Abduh terhadap ulama tradisionalis.  Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, K.H. Hasjim Asy'ari mendirikan Pesantren Tebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren paling besar dan paling penting di Jawa pada era 20. Pada tahun 1926, K.H Hasjim Asy'ari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang memiliki arti kebangkitan ulama.  Dalam upaya usaha untuk meraih kemerdekaan, pada tanggal 17 September 1945 anutan Jihad telah di tanda tangani KH Hasyim Asy’ari yang lalu dikukuhkan dalam rapat para kyai tanggal 21-22 Oktober 1945 dan di kenal dengan nama Resolusi Jihad. Resolusi Jihad selaku pengobar semangatpara ulama dan santri yang tergabung dalam laskar Hizbullah dan Sabilillah dalam melakukan perlawanan kepada penjajah.  Selain itu juga mendesak pemerintah semoga secepatnya menentukan sikap melawan kekuatan abnormal yang ingin menggagalkan kemerdekaan. Surabaya menjadi medan pertempuran antara laskar Hizbullah dan sekutu. Berbekal pemikiran Jihad yang diteguhkan dalam resolusi Jihad yang isinya menyerukan kepada seluruh unsur bangsa utamanya umat Islam untuk membela NKRI. Pertempuran 10 Nopember 1945 laskar ulama dan santri menjadi garda terdepan dalam peperangan.  Berikut isi teks resolusi jihad Nahdlatul Ulama sebagaimana pernah diangkut di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi No. 26 tahun ke-I, Jumat Legi, 26 Oktober 1945.  Toentoetan Nahdlatoel Oelama kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia Soepaya mengambil langkah-langkah jang seimbang Resoloesi wakil-wakil daerah Nahdlatoel Oelama Seloeroeh Djawa-Madoera Bismillahirrochmanir Rochim Resoloesi : Rapat besar wakil-wakil tempat (Konsoel2) Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama seloeroeh Djawa-Madoera pada tanggal 21-22 October 1945 di Soerabaja. Mendengar : Bahwa di tiap-tiap Daerah di seloeroeh Djawa-Madoera ternjata betapa besarnja kehendak Oemmat Islam dan ‘Alim Oelama di tempatnja masing-masing oentoek mempertahankan dan menegakkan agama, kedaoelatan negara repoeblik indonesia merdeka. Menimbang : a. Bahwa oentoek mempertahankan dan menegakkan Negara Repoeblik Indonesia berdasarkan hoekoem Agama Islam, termasoek selaku satoe kewadjiban bagi tiap2 orang Islam. b. Bahwa di Indonesia ini warga negaranja adalah sebagian besar berisikan Oemmat Islam. Mengingat: Bahwa oleh fihak Belanda (NICA) dan Djepang jang tiba dan berada di sini sudah banjak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang menganggoe kenyamanan oemoem. Bahwa semoea jang dilakoekan oleh mereka itu dengan maksoed melanggar kedaoelatan Negara Repoeblik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali mendjadjah di sini maka beberapa tempat sudah terdjadi pertempoeran jang mengorbankan beberapa banjak djiwa manoesia. Bahwa pertempoeran2 itu sebagian besar telah dilakoekan oleh Oemmat Islam jang merasa wadjib menoeroet hoekoem Agamanja oentoek menjaga Kemerdekaan Negara dan Agamanja. Bahwa di dalam menghadapai sekalian kedjadian2 itoe perloe mendapat perintah dan toentoenan jang njata dari Pemerintah Repoeblik Indonesia jang sesoeai dengan kedjadian terseboet. Memoetoeskan : Memohon dengan sangat terhadap Pemerintah Repoeblik Indonesia soepaja menentoekan soeatoe perilaku dan tindakan jang njata serta seimbang kepada oesaha2 jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia teroetama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannja. Seoapaja menyuruh melandjoetkan perdjoeangan bersifat “sabilillah” oentoek tegaknja Negara Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama Islam. Soerabaja, 22 Oktober 1945 NAHDLATOEL OELAMA Itulah bahasan perihal tokoh-tokoh perjuangan umat Islam Indonesia pada kurun kebangkitan nasional. Semoga berguna.
Sumber https://dadanby.blogspot.com


EmoticonEmoticon