Senin, 06 April 2020

Tokoh Usaha Umat Islam Indonesia Pada Era Penjajahan

Pangeran Diponegoro dan Teuku Umar tergolong dua orang pejuang yang lahir pada era penjajahan, semua pasti mengenal namanya karena di setiap dinding seklah senantiasa terpampang gambar lukisan beliau. Namun nilai-nilai perjuangannnya masih banyak yang belum mengetahuinya. Kisah dan usaha hidup Pangeran Diponegoro dan Teuku Umar yaitu usaha umat Islam periode penjajahan. Berikut ialah tokoh perjuangan umat Islam Indonesia pada era penjajahan selengkapnya. 1. Pangeran Diponegoro (w.1855 M) Pangeran Diponegoro yakni putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana III, raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang ibu berjulukan R.A. Mangkarawati, yang ialah keturunan Kyai Agung Prampelan, ulama yang sungguh disegani di masa Panembahan Senapati mendirikan kerajaan Mataram. Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro bernama Bendara Raden Mas Antawirya. Sejak kecil beliau dididik oleh neneknya, Kanjeng Ratu Ageng di Tegalrejo, terkenal selaku orang yang amat saleh. Beliau senantiasa berupaya memperdalam soal agama. Untuk memperkuat imannya, ia sering mengasingkan diri di kawasan-kawasan yang jauh, bertapa dan mengembara, sehingga dengan sendirinya banyak orang terpesona oleh kepribadiannya. Sebagai orang yang sangat saleh, dia tidak mementingkan keduniawian, dan senantiasa mengenang kepentingan umum. Terdesak oleh kondisi maka beliau bertindak untuk menjaga kedudukan para ningrat dan membela nasib rakyat kecil. Diponegoro lebih kesengsem pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo daerah tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai semenjak kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana V (1822). Ketika itu, Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja di bawah pengawasan residen. Pangeran Diponegoro yang menyadari maksud dan tujuan siasat Belanda itu menilai bahwa kedudukannya selaku wali Sultan berlawanan dengan aturan-hukum agama sehingga beliau menolak pengangkatan tersebut oleh Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujuinya. Perang Diponegoro (1825-1830) berawal dikala pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, dia memang telah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adab istiadat lokal dan sungguh mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak. Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, menerima simpati dan santunan rakyat. Atas saran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan menciptakan markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya yaitu perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa imbas luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Mojo, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Kyai Mojo dikenal sebagai ulama besar yang sebetulnya masih memiliki korelasi kekerabatan dengan Diponegoro. Ibu Kyai Mojo, R.A. Mursilah, adalah saudara perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III. Dalam peperangan-pertempuran dari tahun 1825 sampai 1826 kemenangan ada di pihak Diponegoro. Hal ini disebabkan (1) semangat perang pasukan Diponegoro masih tinggi, (2) siasat gerilya yang dikerjakan Diponegoro belum tertandingi, dan (3) sebagian pasukan Belanda masih berada di Sumatera Barat dalam rangka Perang Padri. Karena itu ajuan Belanda untuk melakukan perdamaian selalu ditolak oleh Diponegoro. Melihat makin kuatnya Diponegoro dan kian meluasnya medan peperangan, maka Belanda menganggap bahwa perlawanan Diponegoro sangat membahayakan kedudukan Belanda di Indonesia. Itulah sebabnya Belanda kemudian menggelar berbagai siasat untuk menumpas atau menghentikan perlawanan Diponegoro itu. Pada tahun 1829 Pangeran Mangkubumi dan Alibasya Sentot Prawirodirjo mengambil keputusan menyerahkan diri sebelum dikalahkan. Sampai tahun 1829 tersebut kira-kira 200 ribu pasukan Diponegoro telah gugur. Oleh sebab kondisinya yang kian terdesak dan menyaksikan kedudukannya yang sudah tidak ada impian lagi, maka Diponegoro bersedia untuk melaksanakan negosiasi. Dengan aneka macam alasan tersebut, Pangeran Diponegoro ditangkap di tempat perundingan tersebut. Diponegoro lalu dibawa ke Menado dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makasar dan di sana dia wafat pada tanggal 8 Januari 1855. Makam dia hingga kini menjadi kawasan ziarah bangsa Indonesia. Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di beberapa kota besar Indonesia terdapat Jalan Pangeran Diponegoro. Kota Semarang sendiri juga menawarkan apresiasi biar nama Pangeran Diponegoro akan selalu hidup. Nama-nama kawasan yang menggunakan namanya antara lain Stadion Diponegoro, Jalan Pangeran Diponegoro, Universitas Diponegoro (Undip), maupun Kodam IV/Diponegoro. Pemerintah Republik Indonesia pada periode pemerintahan Presiden Soekarno pada tanggal 8 Januari 1955 pernah mengadakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro, sedangkan pengesahan selaku Pahlawan Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 lewat Keppres No.87/Taman Kanak-kanak/1973. 2. Teuku Umar (w.1899 M) Salah satu hero dari Aceh yang dengan gigih melawan Belanda yakni Teuku Umar. Teuku Umar yang dilahirkan di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1854, ialah anak seorang Uleebalang berjulukan Teuku Achmad Mahmud dari perkawinan dengan adik perempuan Raja Meulaboh. Umar mempunyai dua orang saudara wanita dan tiga kerabat pria. Nenek moyang Umar yaitu Datuk Makhudum Sati berasal dari Minangkabau. Dia merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman. Ketika perang Aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bareng pejuang-pejuang Aceh lainnya, umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya beliau berjuang di kampungnya sendiri, lalu dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih muda ini, Teuku Umar telah diangkat selaku keuchik gampong (kepala desa) di tempat Daya Meulaboh. Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar lalu menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku Nanta Setia. Suami Cut Nya Dien, ialah Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda. Teuku Umar lalu mencari seni manajemen untuk mendapatkan senjata dari pihak Belanda. Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek Belanda. Belanda berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Gubernur Van Teijn pada dikala itu juga bermaksud mempergunakan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar lalu masuk dinas militer. Taktik tersebut sukses, sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk memperbesar 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pang Laot (panglima Laut). Tahun 1884 Kapal Inggris "Nicero" terdampar. Kapten dan awak kapalnya disandera oleh raja Teunom. Teuku Umar ditugaskan untuk membebaskan kapal tersebut. Teuku Umar menyatakan bahwa merebut kembali Kapal "Nicero" dengan syarat diberi logistik dan senjata yang banyak sehingga mampu bertahan dalam jangka waktu yang lama. Teuku Umar berangkat dengan kapal "Bengkulen" ke Aceh Barat membawa 32 orang serdadu Belanda dan beberapa panglimanya. Tidak usang, Belanda dikejutkan informasi yang menyatakan bahwa semua prajurit Belanda yang ikut, dibunuh di tengah laut. Seluruh senjata dan peralatan perang yang lain dirampas. Sejak itu Teuku Umar kembali memihak pejuang Aceh untuk melawan Belanda. Pada tanggal 10 Pebruari 1899 Masehi, di Keudee Lhok Bubon, Teuku Umar bersama pasukannya mengatur rencana penyerangan kepada Belanda yang berada di Tangsi Meulaboh. Namun planning ini terdengar oleh Belanda, Jendral Van Heutzs menyuruh Letnan Ver Brugh untuk memimpin pasukannya berpatroli ke arah Barat dengan menyusuri pantai serta melaksanakan pengawalan di Suak Ujong Kalak. Teuku Umar bergerak menyusuri pantai bareng pasukannya dari Lhok Bubon menuju Meulaboh pada malam hari tanggal 11 Pebruari 1899 Masehi, Pasukan Belanda yang sudah lebih dahulu bersiaga di seberang Suak Ujong Kalak melepaskan tembakan. Pasukan Teuku Umar terkepung, Peluru Belanda bersarang di dada kirinya dan usus besar, ia gugur sebagai Syuhada’. Itulah bahasan singkat tentang tokoh usaha umat Islam Indonesia pada kala penjajahan. Semoga berfaedah.
Sumber https://dadanby.blogspot.com


EmoticonEmoticon