Minggu, 03 Mei 2020

Kondisi Al Azhar Pada Abad Pemerintahan Dinasti Ayyubiah

Berakhirnya Dinasti Fatimiyyah yang bermadzhab Syi’ah dan berkuasanya Dinasti Ayyubiah yang bermadzhab Sunni, sungguh berefek pada perkembangan sejarah al Azhar. Sultan Shalahuddin mengeluarkan beberapa kecerdikan mengenai al Azhar, diantaranya bahwa Al Azhar tidak boleh lagi dipergunakan untuk aktivitas ibadah shalat Jum’at dan kegiatan madrasah.  Alasannya alasannya adalah Al Azhar pada masa Dinasti Fathimiyah menjadi sentra pengembangan ihwal ajaran-ajaran Syi’ah. Kemudian Shalahuddin juga menunjuk seorang Qadhi, Sadruddin Abdul Malik bin Darabas menjadi Qadhi tertinggi, yang berhak mengeluarkan pemikiran-pemikiran wacana aturan pada mazhab Syafi’i.  Diantara ajaran yang dikeluarkan ialah melarang umat Islam pada ketika itu untuk melakukan ibadah shalat Jumat di masjid al Azhar, dan cuma boleh melakukannya di masjid al Hakim. Alasannya, masjid al Hakim lebih luas, disamping itu juga didalam mazhab Syafi’i dihentikan ada dua khutbah Jumat dalam satu kota yang serupa.  Masjid Al Azhar tidak digunakan untuk shalat Jum’at dan aktivitas pendidikan selama lebih kurang seratus tahun, ialah sejak Sultan Shalahuddin al Ayyubi berkuasa (1171-1267 M) hingga dihidupkan kembali pada zaman pemerintahan Sultan Malik al Zahir Baybars dari Dinasti Mamluk yang berkuasa atas Mesir.  Meskipun demikian, penutupan Al Azhar sebagai masjid dan madrasah pada kurun Dinasti Ayyubiyah tidak mempunyai arti kegiatan keagamaan dan pendidikan tidak berkembang. Shalahuddin mempunyai perhatian yang besar kepada dunia pendidikan rakyatnya.  Ia lalu melaksanakan pembangunan forum madrasah-madrasah di nyaris setiap daerah kekuasaannya. Begitu juga ia mendirikan lembaga pendidikan tinggi (kulliyat) dan universitas. Kurang lebih ada 25 kulliyat yang diresmikan pada kurun kekuasaannya.  Diantara kulliyat-kulliyat yang terkenal ialah : Manazilull Izza Al Kulliyatul ‘Adiliyyah Al Kulliyatul Arsufiyah Al Kulliyatul Fadhiliyyah Al Kulliyatul Azkasyiyah dan  Al Kulliyatul ‘Asuriyah.  Nama-nama kulliyat tersebut pada umumnya dinisbahkan terhadap nama-nama para pendirinya, selaku pemberi wakaf bagi para murid-murid dan guru-gurunya.  Meskipun ada larangan untuk tidak memakai Al Azhar selaku sentra acara madrasah, masjid tersebut tidak sepenuhnya ditinggalkan oleh murid-murid dan guru-guru, alasannya adalah cuma sebagian dari mereka yang meninggalkan al Azhar.  Pada kala pemerintahan Sultan Malikul Aziz Imadudin Usman, putra Shalahudin Yusuf al Ayyubi, tepatnya pada tahun 1193 M/589 H datanglah seorang ulama besar bernama Abdul Latif al Bagdadi dan mengajar di Al Azhar selama Sultan al Malikul Aziz berkuasa. Materi yang diajarkan al Baghdadi mencakup ilmu Mantiq dan Bayan.  Kedatangan al Baghdadi menambah semangat beberapa ulama yang masih menetap di al Azhar, di antara mereka ialah Ibn al Farid, hebat sufi terkenal, Syeikh Abu al-Qosim al-Manfaluti, Syeikh Jama al Din al Asyuyuti, Syeikh Shahabu al-Din al-Sahruri, dan Syams al Din Ibn Khalikan, spesialis sejarah yang mengarang kitab wafiyyat al‘Ayan.  Selain mengajar ilmu mantiq dan bayan, al Baghdadi juga mengajar ilmu hadits dan fiqh. Materi-bahan itu diajarkan kapada para muridnya di pagi hari, sementara dari siang hingga sore hari mengajar kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya. Ini merupakan upaya al Baghdadi untuk menawarkan informasi, sekaligus mensosialisasikan mazhab Sunni terhadap masyarakat Mesir.  Selama periode pemerintahan dinasti Ayyubiyah di Mesir (1171-1250 M), pertumbuhan ajaran atau mazhab Sunni sungguh pesat, tergolong versi dan sistem pendidikan yang dikembangkan berorientasi Sunni. Maka dalam perjalanan sejarahnya, di abad Dinasti Ayyubiah, Al Azhar menjadi masjid, lembaga pendidikan, sekaligus pusat pengembangan aliran-pemikiran Sunni.  Para penguasa dinasti Ayyubiyah, selaku penguasa yang setia terhadap pemerintahan khalifah Abbasiyah di Baghdad, maka orientasi akal pemerintahannya ialah sebagaimana yang ada di Baghdad, bermadzhab Sunni. Oleh alasannya itu, salah satu lembaga strategis yang sanggup menerima amanah selaku tempat pembelajaran, penyebaran dan pengembangan anutan-aliran mazhab Suni yakni Al-Azhar.  Berikut yakni Desain Arsitektur Al Azhar Masjid ini mempunyai pelataran besar berupa persegi panjang, dikelilingi rangkaian portico. Seperti Masjid Umayyah di Damaskus, tiang-tiang kolom masjid ini mempergunakan kolom-kolom kuno untuk menunjang arcade (atap lori). Arcade tersebut mempunyai banyak lengkungan.  Gaya dekoratifnya sebagian besar mengikuti gaya Masjid Ibn Tulun. Pola ornamentasinya mengikuti gaya Mesopotamia yang dibawa ke Mesir oleh Ibn Tulun.  Pelataran masjid berukuran 50 kali 34 meter, terdapat empat fasade dihiasi dekorasi bermotif daun dan dekorasi rosette besar diletakkan di puncak arcade yang mengelilingi pelataran. Terdapat balkon lapang untuk memandang ke segala arah.  Halaman di bab dalam dengan lima lajur menghadap ke arah kiblat. Ruangannya menerapkan pola hypostyle dengan langit-langit kayu datar yang ditopang oleh kolom-kolom,mirip dengan gaya Masjid Amr di Kairouan.  Demikianlah pembahasan tentang keadaan Al Azhar pada abad pemerintahan Dinasti Ayyubiah, supaya ada ibrah dan keuntungannya.
Sumber https://dadanby.blogspot.com


EmoticonEmoticon