BAB I PENDAHULUAN Dalam abad globalisasi ini permintaan terhadap paradigma good governance dalam seluruh kegiatan tidak dapat dielakkan lagi. Istilah good governance sendiri mampu diartikan terlaksananya tata ekonomi, politik dan sosial yang baik ( Achwan, 2000). Jika keadaan good governance dapat diraih maka terwujudnya negara yang bersih dan responsif ( clean and responsive state), semaraknya masyarakat sipil ( vibrant civil society) dan kehidupan bisnis yang bertanggung jawab ( good corporate governance) bukan merupakan cita-cita lagi. Lembaga-lembaga donor internasional seperti World Bank, IMF, dan ADB juga menuntut ditegakan paradigma good governance di negara-negara yang menemukan dukungan dari mereka, tergolong Indonesia ( ADB, 1999 ). Dengan demikian bagi Indonesia tuntutan ditegakkan good governance merupakan suatu kewajiban yang mesti diupayakan. Untuk dapat meraih good governance maka salah satu hal yang mesti dipenuhi ialah adanya angkutanatau keterbukaan dan akuntabilitas dalam aneka macam kegiatan baik kegiatan sosial, politik dan ekonomi. Dari sisi ekonomi, salah satu indikator adanya keterbukaan dan akuntabilitas tersebut adalah rendahnya tingkat korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang terjadi dalam aktivitas ekonomi pada berbagai tingkatan pelaku ekonomi. Semakin tinggi tingkat keterbukaan dan akuntabilitas dari acara ekonomi maka sebaiknya makin rendah pula kemungkinan KKN yang terjadi. Tulisan ini mencoba memaparkan peran akuntan publik Indonesia untuk dapat ikut mendukung terciptanya iklim good governance lewat gerakan anti-korupsi dan melihat kemungkinan profesi akuntan publik menjadi salah satu " pillars of integrity" dalam gerakan anti-korupsi di Indonesia. Sebelum membicarakan masalah tersebut, maka akan dibahas apalagi dahulu sejauh mana terlaksananya good governance di Indonesia. BAB II PEMBAHASAN Menurut hasil riset Booz-Allen & Hamilton, Indonesia pada tahun 1999 menduduki posisi paling parah dalam hal indeks good governance, indeks korupsi dan indeks efisiensi peradilan daripada beberapa negara di Asia Tenggara lainnya. (Irwan, 2000). Besarnya indeks good governance Indonesia hanya sebesar (2,88) di bawah Singapura (8,93), Malaysia (7,72), Thailand (4,89) dan Filipina (3,47). Indeks ini menawarkan bahwa makin rendah angka indeks maka tingkat good governance makin rendah dan sebaliknya (lihat Tabel 1). Rendahnya indeks good governance di Indonesia didukung oleh hasil studi Huther dan Shah (1998) yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk ke dalam kategori negara poor governance (lihat Tabel 1). Studi ini melihat governance quality dengan cara mengkalkulasikan besarnya governance quality index di masing-masing negara yang menjadi sampel. Indeks mutu governance diukur dari : (1) indeks partisipasi masyarakat, (2) indeks orientasi pemerintah, (3) indeks pembangunan sosial, dan ( 4 ) indeks manajemen ekonomi makro. Tabel 1 Good Governance di Asia tenggara Tahun 1999 Negara Indeks Efisiensi Peradilan Indeks Korupsi Indeks Good Governance Kategori Kualitas Governance Malaysia 9,00 7,38 7,72 Good Governance Singapura 10,00 8,22 8,93 Good Governance Thailand 3,25 5,18 4,89 Fair Governance Filipinan 4,75 7,92 3,47 Fair Governance Indonesia 2,50 2,15 2,88 Poor Governance Sumber : Booz-Allen & Hamilton, mirip dikutip Irwan (2000) dan Huther and Shah (2000) Hasil survei yang dilaksanakan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) terhadap para direktur bisnis asing tidak jauh berlawanan dengan hasil riset di atas, di sektor publik, birokrasi pemerintahan Indonesia, tergolong yang terburuk di Asia. Birokrasi Indonesia pada tahun 2000 menemukan skor 8,0 dan tidak mengalami perbaikan dibandingkan tahun 1999, walaupun masih lebih baik dibanding Cina, Vietnam, dan India (Anonim, 2000.b) Di sektor swasta, berdasarkan hasil riset McKinsey & Company yang melibatkan para investor di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat kepada lima negara di Asia menyatakan bahwa Indonesia menempati peringkat paling rendah dalam pelaksanaan good corporate governance (GCG). (Anonim, 2000.c) sedangkan berdasarkan hasil survei PERC kepada pelaku bisnis gila di Asia, ternyata Indonesia merupakan negara terburuk di bidang corporate governance. (Anonim, 2000.d) Salah satu bukti yang menawarkan buruknya pengelolaan perusahaan antara lain tersermin dari tidak adanya upaya persiapan manajemen kepada acara keuangannya. Terbukti hingga selesai 1996, total utang mancanegara swasta dari 275 emiten yang listing di Bursa Efek Jakarta (BEJ) sebesar US$ 42,732 milyar, ternyata sekitar 79,29% (atau sekitar US$ 33,9 milyar) tidak di-hedging. (Wibisono, 1997). Hal ini diperburuk lagi dengan banyaknya perusahaan swasta yang memiliki utang mancanegara, ternyata sebagian besar ialah utang jangka pendek yang dipakai untuk membiayai proyek-proyek investasi jangka panjang. Kondisi inilah yang alhasil mengakibatkan banyak perusahaan swasta mengalami default atas utang mereka yang telah jatuh tempo. Melihat hasil studi di atas maka secara ob jek tif harus diakui bahwa kualitas governance Indonesia masih jauh dari good governance dan uga mesti diakui bahwa pemerintah Indonesia sudah berusaha untuk menuju terciptanya good governance. Upaya tersebutlah dapat dilihat dari kebijakan deregulasi dan debirokrasi semenjak pertengahan tahun 1980-an. Deregulasi diarahkan dengan mengurangi dan atau menghilangkan berbagai peraturan yang dirasa menghalangi kegiatan perekonomian. Secara khusus pemerintah menghilangkan banyak sekali peraturan yang menghalangi kegiatan ekspor. Berbagai kebijakan deregulasi di bidang ekonomi nampak terperinci menawarkan orientasi pemerintah yang berubah dari inward oriented menuju outward oriented. Sejalan dengan kebijakan tesebut maka pengembangan sektor industri juga diarahkan untuk produk-produk untuk tujuan ekspor. Kebijakan debirokrasi dijalankan dengan cara menghemat atau memotong proses birokrasi. Sebagai pola, proses perijinan diperpendek dan atau dipermudah. Dengan kebijakan tersebut masyarakat atau investor diperlukan mendapatkan fasilitas untuk menemukan ijin untuk melaksanakan kegiatan ekonomi. Pemerintah juga menyebarkan metode manajemen satu atap sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang lebih baik dari pihak birokrasi. Kelemahan yang sungguh menonjol dalam proses tercapainya good governance selama ini yakni tinginya korupsi yang terjadi. Korupsi mampu dikatakan merajalela terutama di kelompok birokrasi pada institusi publik atau forum pemerintah baik departemen maupun lembaga bukan departemen. Korupsi umumnya yang terjadi dibarengi dengan langkah-langkah kolusi dan nepotisme. Kemudian di Indonesia dikenal dengan istilah korupsi, kongkalikong dan nepotisme (KKN). Hasil pemeriksaan reguler Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selama tahun anggran 1999/2000 menyebutkan bahwa sebanyak 10 (sepuluh) departemen dan forum pemerintah bukan pemerintah melakukan penyimpangan KKN yang menjadikan kerugian negara senilai triliunan rupiah. (Anonim, 2000.a). Dari ke 10 institusi tersebut 5 (lima) diantaranya diindikasikan nilai penyelewengannya paling besar. Ke-5 institusi termaksud adlah Pertamina, Kantor Menteri negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN, Bulog, BKKBN dan Bank Indonesia. Penyelewengan keuangan negara yang sukses didapatkan oleh BPKP selama tahun budget 1999/2000 sejumlah 18.945 perkara dengan nilai mencapai Rp. 2,4 trilyun. Menurut BPKP indikasi KKN pada institusi pemerintah tersebut dapat diketahui dari adanya prosedur penyimpangan pengadaan barang dan jasa, pembayaran yang melampaui prestasi kerja, pekerjaan fiktif, pemalsuan dokumen, mark-up dan derma pekerjaan pada pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa. (Anonim, 2000.a). Pada tabel 2 tampakpada masa 1995 - 1997 indeks pandangan korupsi di Indonesia relatif terendah dibandingkan negara lain, walaupun selam a periode tersebut ada peningkatan besarnya indeks. Tabel 2 Corruption Perception Index di Asia Tenggara Tahun 1995-1997 Negara 1995 1996 1997 Singapura 9,00 7,38 7,72 Malaysia 10,00 8,22 8.93 Thailand 3,25 5,18 4,89 Filipina 4,75 7,92 3,47 Indonesia 2,50 2,15 2,88 Sumber : Transprency International, seperti dikutip Tanzi (1998) Terhadap merebaknya permintaan terwujudnya good governance tersebut, kini profesi akuntan banyak menerima sorotan. Sorotan tersebut khususnya terkait dengan peranan profesi akuntan selama ini dalam berpartisipasi mewujudkan good governance tersebut. Beberapa pihak mengatakan, peranan profesi akuntan masih belum optimal dalam mewujudkan good governance. Meski belum pasti pendapat ini sepenuhnya benar, tetapi dengan melihat data di atas, agaknya para kauntan perlu melakukan introspeksi diri terhadap kekurangan-kelemahan apa yang masih melekat pada profesi yang dijalaninya. Realita Ketidakberdayaan Profesi Akuntan Munculnya pandangan skeptis terhadap peran profesi akuntan dalam merealisasikan good governance memang berdalih. Kenyataan memperlihatkan bahwa banyak laporan keuangan suatu perusahaan yang menerima unqualified opinion dari akuntan publik, justru sesudah opini tersebut keluar, perusahaan yang bersangkutan mengalami kebangkrutan. Dari sejumlah data hingga dengan tahun buku 1997, laopran keuangan bank publik yang unqualified opinion dari akuntan publik. (Mahmud, 1998). Meskipun proses evolusi dan perbaikan terus dilakukan, namun banyak sekali komentar tentang ketidakmampuan st andar dan praktek akuntansi dalam mengakomodasi perubahan ekonomi yang berlangsung secara cepat ini, masih terus berlanjut. Berbagai keraguan tersebut antara lain berupa komentar-komentar sebagai berikut. Pertama pembukuan keuangan tidak menyediakan informasi yang diperlukan pada keadaan industri di abad mendatang ( post industrial economy). Kedua, pasar modal lebih tertarik pada berita kinerja kurun depan (future performance) dan bukannya pada kinerja abad kemudian (historical performance) seperti yang ditunjukkan oleh pembukuan keuangan. Ketiga, metode penilaian yang didasarkan atas historical cost tidak memungkinkan bagi laporan keuangan untuk menawarkan berita wacana perusahaan secara "true and fair". Keempat, perlakuan akuntansi atas aset tak terwujud (Intangible Asset) yang meliputi investasi di bidang penelitian dan pengembangan (R & D), sumber daya insan (SDM), dan investasi pada "trademark" dan "brandnames", kurang mendapatkan perhatian benar-benar. Kelima, akuntansi mempunyai kesulitan dlam menilai resiko yang terkait dengan instrumen keuangan baru dan kewajiban bersyarat (contingen liability). (Frederick, 1998). T erdapat dua faktor utama yang mampu diidentifikasi sebagai penyebab terjadinya aneka macam fenomena dan evaluasi di atas. Petama, adanya adab hazard yang dilakukan oleh akuntan. Dalam perkara pembukuan keuangan bank publik diatas, contohnya, terdapat pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang dijalankan administrasi bank yang disembunyikan atau tidak dijadikan petimbangan dalam santunan opini atas laporan keuangan. Kedua, tolok ukur akuntansi dan persyaratan auditing yang manjadi ajaran para akuntan dalam melaksanakan profesinya memang tidak bisa menjangkau transaksi-transaksi tertentu, sehingga transaksi tersebut lolos dari observasi akuntan. Pdahal, ditinjau dari aspek lain, transaksi tersebut mempunyai keterkaitan yang bersahabat dengan kelancaran hidup sebuah perusahaan. Meski tidak menampik faktor pertama ikut menghemat mutu output profesi akuntan, dalam postingan ini akan difokuskan pada pembahasan faktor kedua. Terdapat dua argumentasi yang melandasi fatwa tersebut. Pertama, faktor watak hazard ialah human error factor yang terkait dengan duduk perkara akhlak yang sulit diperbaiki melalui nasehat rekomendasi kalau tidak diikuti dengan enforcement dan political will yang kuat dari pelakunya untuk berubah. Kedua, dinilai dari paradigma profesi akuntan ketika ini sebagaimana tercermin dari persyaratan akuntansi dan persyaratan auditing sudah tidak up to date dalam menjawan tuntutan zaman yang telah makin kompleks. Peran Akuntan Publik dan IAI Selain kenyataan dari ketidakberdayaan dari profesi akuntan dalam mewujudkan good governance , terjadinya korupsi dipengaruhi oleh faktor permintaan dan faktor penawaran. (Tanzi, 1998). Dari sisi permintaan dimungkinkan sebab adanya (1) Regulasi dan Otorisasi yang memungkinkan terjadinya korupsi, (2) Karakteristik tertentu dari sistem perpajakan dan (3) adanya provisi atas barang dan jasa di bawah harga pasar. Sedangkan dari segi penawaran dimungkinkan terjadi sebab (1) tradisi birokrasi yang condong korup, (2) rendahnya gaji di kelompok birokrasi, (3) konrol atas institusi yang tidak memadai, dan (4) transparansi dari peraturan dan aturan. Untuk dapat memberantas korupsi dan juga kongkalikong sehingga upaya terwujudnya good governance mampu lebih cepat tercapai maka perlu pinjaman dan upaya dari aneka macam pihak. Untuk itu perlu diciptakan sistem akuntabilitas yang efektif. Dalam hal ini pengambil kebijakan mesti memfokuskan perjuangan mereka mencapai tujuan-tujuan selaku berikut : para pemegang posisi kunci di lembaga direktur dan pelayanan penduduk mesti memperkuat institusi publik. (Langseth, 2000; Langseth, Stapenhurst, and Pope, 1997) Para politisi dan pegawai negeri mesti secara kolektif bertanggung jawab atas pelaksanaan peran dan kesepakatan pemerintah. Para politisi dan birokrat kebanyakan harus lebih resposif kepada kebutuhan perusahaan-perusahaan milik swasta maupun milik negara. Seluruh warga negara, sektor swasta, media dan penduduk sipil mesti dididik dan diberdayakan untuk meningkatkan akuntabilitas sektor publik. Selanjutnya agar akselerasi sistem akuntabilitas publik mampu lebih singkat tercapai, maka diharapkan kesepakatan dan integritas dari aneka macam pihak yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi ialah salah satu upaya untuk menegakkan paradigma good governance. The Economic Development Institue (EDI) of the World Bank dengan aneka macam pihak dalam rangka upaya memberantas KKN, terutama korupsi, sudah memperkenalkan desain yang disebut "Pillars of integrity". (Langseth, Stapenhurst, and Pope, 1997; Dye and Stapenhurst, 1998). Konsep tentang sistem integritas nasional tersebut setidaknya melibatkan 8 (delapan) forum yang disebut "Pillars if integrity", adalah (1) lembaga administrator, (2) forum parlemen, (3) lembaga kehakiman, (4) lembaga-lembaga pengawas ("watchdog" agencies), (5) media, (6) sektor swasta, (7) masyarakat sipil, dan (8) forum-lembaga penegakkan aturan. Termasuk ke dalam pilar forum-forum pengawas antara lain kantor-kantor auditor, forum anti korupsi dan ombudsman. Sedangkan yang termasuk pilar sektor swasta antara lain kamar dagang, asosiasi industri dan perkumpulan profesional. Organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga keagamaan dan LSM tergolong ke dalam pilar penduduk sipil. Pilar tersebut tentunya bisa diperluas berdasarkan kondisi masing-masing negara. Di Indonesia contohnya, mahasiswa tentu mampu dimasukkan sebagai salah satu komponen pilar integritas alasannya merka telah memelopori reformasi atau pergeseran. Bahkan mereka sekaligus juga mampu menjadi bab dari "watchdog" yang lebih ketat. A kuntan publik mempunyai kesempatanyang sangat besar untuk menjadi pilar ke 9 dari pillars if integrity di Indonesia. Seperti didiketahui sebagian akuntan dari kantor akuntan publik ialah auditor yang profesional. Ada atau tidaknya korupsi dlam sebuah acara ekonomi mampu dikatahui dari hasil investigasi yang dilakukan oleh auditor keuangan. Dengan demikian terperinci ada atau tidaknya penyelewengan keuangan sungguh tergantung dari pekerjaan dan kesimpulan yang dianjurkan oleh lembaga auditor. Di Indonesia contohnya, ada tidaknya KKN pada institusi pemerintah secara formal dikenali dari laporan yang dikeluarkan oleh BPKP atau kantor akuntan publik yang ditunjuk. Kondisi tersebut di atas menjadikan kantor akuntan publik mempunyai peran dan keharusan terhadap auditornya yang terlibat dalam proses pemeriksaan akuntan (auditing) agar tetap menjunjung tinggi profesinalisme mereka. Tuntutan profesioanalisme bagi auditor antara lain : (1) mengembangkan dan mengembangkan ilmu dan seni akuntansi, (2) menjaga akidah publik kepada profesi, (3) menyelenggarakan dan menjalankan setiap program dan aktivitas profesi yang bertujuan untuk mengingkatkan kualitas jasa yang diberikan profesi. Sebagai lembaga profesional disamping harus mampu membina auditornya, kantor akuntan publik mesti bisa mengawasi dan menindak anggotanya yang melanggar instruksi etik profesi. tugas dan keharusan akuntan publik dalam hal ini memang tidak gampang namun bukan hal yang mustahil. S ebagian anggota dari IAI merupakan auditor yang profesional yang tergabung dalam kantor auditor atau kantor akuntan publik. Ada atau tidaknya korupsi dalam sebuah kegiatan ekonomi mampu dikenali dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan oleh auditor. Dengan demikian terperinci ada tidaknya penyelewengan keuangan sangat tergantung dari pekerjaan dan kesimpulan yang direkomendasikan oleh lembaga auditor. Di Indonesia contohnya, ada tidaknya KKN pada institusi pemerintah secara formal dikenali dari laporan yang dikeluarkan oleh BPK, BPKP atau kantor akuntan publik yang ditunjuk. Kondisi tersebut menimbulkan IAI memiliki tugas dan kewajiban kepada anggotanya yang terlibat dalam proses investigasi akuntan (auditing) semoga tetap menjunjung tinggi profesionalisme mereka. Kewajiban lain yang mesti dipikul akuntan publik dan IAI semoga mampu menajdi salah satu "pillars of integrity" adalah men ja di salah satu distributor yang mengiklankan good governance. (Shunglu, 1998). Promosi ini dikerjakan intinya untuk "menyuar a kan" adanya keterbukaan dan akuntabilitas dalam aneka macam acara masyarakat. Promosi tersebut contohnya dapat dijalankan dengan membantu pihak lain yang terlibat pemberantasan korupsi. Banyak forum-forum lain yang terlibat, seperti LSM, lembaga ombudsman dan forum keagaman, terbatas pemahaman dan wawasan mereka mengenai laporan keuangan dan pemeriksaan keuangan yang paling sederhana sekalipun. Akuntan publik mampu membantu mereka dengan menunjukkan pengetahuan praktis atau jikalau memungkinkan memperlihatkan derma sumberdaya manusia. Selanjutnya jikalau dimungkinkan akuntan publik selaku anggota dari IAI dapat melakukan pekerjaan sama menysusn petunjuk praktis pengetahuan pembukuan keuangan dan pemeriksaan keuangan bagi organisasi penduduk di tingkat paling bawah seperti RT dan RW. Kerjasama dengan IAI ini dibutuhkan mampu menolong usaha kecil dalam la por an dan investigasi keuangan, hal yang sama pastinya bisa dijalankan pada organisasi kemasyarakatan pada tingkatan yang paling bawah tersebut. Dengan pemahaman masyarakat akan pemeriksaan keuangan pada tingkat yang paling sederhana makin meningkat, berikutnya masyarakat akan sudah biasa denga prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Kondisi tersebut sangat mendukung iklim good governance. Peran lain yang didapat ialah untuk mendukung gerakan anti-korupsi yang merupakan salah satu unsur gerakan untuk menciptakan good governance dengan menunjukkan tunjangan teknis kepada gerakan atau lembaga anti-korupsi. Dukungan teknis sungguh mungkin dilakukan sebab akuntan publik dengan perlindungan IAI mampu mengetahui secara teknis ada tidaknya penyelewengan keuangan atau korupsi dengan bertindak selaku auditor. BAB III PENUTUP Dewasa ini telah timbul gerakan-gerakan anti-korusi yang dipelopori oleh penduduk sendiri. Setidaknya ada 5 organisasi yang dibuat untuk tujuan itu : (1) Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), (2) Indonesia Corruption Watch (ICW), (3) Gerakan Peduli Harta Negara Gempita (Gempita), (4) Pact Indonesia, dan (5) Gerakan Masyarakat Madani (Gema Madani). (Priyono, 2000). Nampaknya aneka macam gerakan tersebut mendapat sambutan yang bergairah dari aneka macam kalangan masyarakat. Denagn keadaan tersebut di atas maka akuntan publik mempunayi banyak piliahn untuk berpartisipasi dalam gerakan anti-korupsi. Pilihan yang mampu diambil adalah dengan cara tidak langsung, ialah bekerjasama dengan IAI membina dan memantau anggotanya biar tetap bertindak profesional dan atau dengan cara terlibat eksklusif mendukung gerakan tersebut. Cara pribadi yang dapat dipilih adalah (1) memberi dukungan teknis kepada gerakan atau forum anti korupsi, dan atau (2) ikut mengiklankan gerakan anti-korupsi itu sendiri. Untuk kedepan akuntan publik mampu menjadi salah satu "pillars of integrity" dari bangsa Indonesia untuk meberantas korupsi. Namun untuk dapat menjadi salah satu pilar tersebut akuntan publik dengan berafiliasi dengan IAI mesti: (1) mampu mengembangkan profesionalisme anggotanya, (2) bisa membina, mengawasi, dan menindak anggotanya yang melanggar akhlak profesi, (3) bisa meyakinkan terhadap penduduk bahwa akuntan publik tidak terlibat dalam proses terjadinya korupsi dan juga kongkalikong, (4) berperan aktif mengiklankan gerakan anti korupsi, dan (5) memberi santunan dan dukungan kepada lembaga atau gerakan anti korupsi. Dengan mampu menjalani ke 5 tugas tersebut di atas maka akuntan publik telah mampu mengerjakan peran sentral dalam gerakan anti-korupsi, dimana gerakan tersebut ialah salah satu upaya untuk menuju terciptanya good governance. Dengan demikian lingkup kegiatan profesi akuntan makin luas, pastinya memilki implikasi yang luas pula salah satunya yaitu tantangan bagaimana akuntan bisa menyebarkan kualitas profesinya. Sebab untuk mampu melakukan aktivitas-acara di atas, maka keahlian yang perlu disiapkan oleh para akuntan juga menjadi kian kompleks. Meski begitu, peningkatan lingkup aktivitas tersebut, juga ialah peluang bagi profesi akuntan untuk memperluas jasa-jasa yang disediakan. U ntuk mengimbangi luasnya lingkup aktivitas profesi akuntan, maka keahlian-keahlian atau wawasan berikut perlu dimilki para akuntan. Pertama wawasan perihal aturan bisnis. Tujuannya yakni, semoga para akuntan mampu mengidentifikasi sikap-perilaku bisnis (mirip monopoli, kartel, oligopoli, dsb). Keuda, pemahaman perihal ekonomi industri. Pemahaman ini diharapkan semoga para akuntan bisa mengidentifikasi struktur industri serta posisi perusahaan dalam industri. Ketiga, keahlian sebagai analis. Kenyataan di Ameriak Serikat memperlihatkan bahwa tugas analis future ternyata jauh di atas dibandingkan tugas laporan auditing (adalah 70%, sedangkan laporan auditing 30%). Mengapa demikian? Setidaknya ada dua faktor yang menjadikan perbedaan tersebut: (1) para anlis mampu menciptakan pembukuan keuangan menjadi lebih hidup lewat evaluasi-analisa kunatitatif (mirip analisis rasio, prediksi kebangkrutan melalui data-data keuangan, dsb), (2) selain analisis kuantitatif para analis juga menawarkan analisis kualitatif, seperti budaya perusahaan, keunggulan manajemen, kesempatan perkembangan dan seni manajemen pencapaiannya yang kesemuanya tidak terekam dalam pembukuan keuangan. Secara institusi, dengan adanya tuntutan yang begitu besar kepada peran akuntan dalam merealisasikan good governance, IAI perlu menata kembali kegiatan yang dilakukan para anggotanya. Selain membekali banyak sekali keahlian seperti tersebut di atas, lewat aneka macam program Pendidikan Profesi Berkelanjutan, secara legalitas IAI juga perlu memperkuat landasan bagi profesi akuntan. Dalam konteks ini, jika selama ini patokan akuntansi dan auditing yang telah ditetapkan IAI masih mengacu pada catatan keuangan (kuantitatif) semata, maka kini saatnya klausul-klausul kualitatif, ikut tercakup dalam standar. Dengan demikian, bagi IAI sekarang telah saatnya untuk mempertimbangkan menciptakan suatu patokan supaya klausul-klausul kualitatif menjadi bagian dalam pelaporan keuangan yang terpublikasi. Sementara itu, pendapatpenentuan opini kepada sebuah pembukuan keuangan, juga telah tidak berhubungan lagi jika hanya didasarkan pada kewajaran laporan keuangan, tetapi juga termasuk di dalamnya perlu diperhitungkan klausul-klausul kualitatif yang terjadi pada perusahaan, seperti kewajaran transaksi. Jika ini mampu diwujudkan, persepsi skeptis kepada peranan profesi akuntan dalam merealisasikan good governance mampu ditekan. Di sisi lain, dengan semakin luasnya lingkup acara, profesi akuntan akan semakin disenangi konsumen sebab lengkapnya jasa-jasa yang dapat ditawarkan. Bila dulu seorang ionvestor yang mau menanamkan modal membutuhkan dua profesi keterampilan (akuntan dan analis), maka sekarang penanam modal tinggal "bertransaksi" dengan satu profesi.: akuntan. Dengan demikian, peran akuntan tidak lagi minimal (seperti yang ditunjukkan oleh tugas laopran audit yang hanya 30%), namun kelak dapat optimal. D AFTAR PUSTAKA Achwan, Rochman. (2001). Good governance : manifesto politik masa ke-21. Kompas Rabu 28 Juni 2000, hal. 39 Anonim. (2000). a. Pertamina, Bulog, dan BI Sarang KKN paling besar. Kompas 28 Juni, hal 13 ......................... ... b. Paternalisitk masih kental, peringkat makin jelek. Kompas 13 Juni ........................... . c. Indonesia terburuk dalam good corporate governance. Kompas 20 Juni ........................... . d. Indonesia ketiga terburuk di Aisa. Kompas 26 Juni. Asian Development Bank (ADB). (1999). Good governance and anticorruption : the road forward for Indonesia, Paper, Presented at Eight Meeting of the Consultative Group on Indonesia, 27-28 July, Paris : France Dye, Kenneth M. and Stapenhurst, R. (1998) Pillars of integrity : the important of supreme audit Institutions in curbing corruption. EDI Working Paper, The Economic Development Institute of the World Bank. Frederick, Richard. (1998). The role of disclosure in strengthening corporate governance and accountability. Makalah yang disampaikan pada simposium OECD tanggal 12-13 Februari di Paris. Irwan, Elexander. (2000). Clean Goverment dan Budaya Bisnis Asia. Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2000, hal 56-63 Langseth, Petter. (2000). Bagaimana memerangi eksklusif praktek korupsi. Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2000, hal 70-76 Langseth, Petter, Stapenhurst, R., Pope, J. (1997). The role of national integrity system in fighting corruption, EDI Working Paper, The Economic Development Institute of the World Bank. Mahmud, Hasan Zein. (1998). Profesi akuntan dalam pandangan para pemakai pointers yang disampaikan dalam Diskusi Forum Temu Nasional Mahasiswa Akuntansi, Jakarta. Tanggal 19 September. Priyono, AE. (2000). Jaringan nasional Ombudsman untuk pemberantasan korupsi. Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2000, hal 43 - 48 Shunglu, V. K. (2000). The role of the auditor in promoting : good governance. International Journal of Government Auditing, Auditing, April 1998, pp. 18 - 19 Tanzi, Vito. (1998). Corruption around the world : causes, consequences, scope, and cures, IMF Working Paper, WP/98/63, May. Wibisono, Thomas. (1997). Restrukturisasi dan konsentrasi. SWA No. 18/XII?12 Desember 1996 - 1 Januari. Sumber http://worldonstory.blogspot.com
Sabtu, 20 Juni 2020
Bantuan Akuntan Publik Dan Iai Dalam Merealisasikan Pemerintahan Yang Higienis
Diterbitkan Juni 20, 2020
Artikel Terkait
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon