Rabu, 17 Juni 2020

Cerita Istri Yang Menyesal Dan Suami Yang Mempunyai Cinta Seluas Samudera

### Ketika aku membaca dongeng ini di http://veronikasakti.tumblr.com/ saya benar-benar tersentuh, maka dari itu, aku kesengsem untuk memposting dongeng ini di blog ini. Karena aku berharap, cerita tersebut mampu kita ambil hikmahnya. Mari membaca. :) ###   Aku membencinya, itulah yang senantiasa kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, saya tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah alasannya paksaan orangtua, membuatku tidak suka suamiku sendiri.   Walaupun menikah terpaksa, saya tak pernah menunjuk-kan perilaku benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan seluruhnya sebab aku tak memiliki pegangan lain. Beberapa kali muncul harapan meninggalkannya tetapi aku tak memiliki kesanggupan finansial dan pertolongan siapapun. Kedua orangtuaku sungguh mencintai suamiku alasannya berdasarkan mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.   Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah betul-betul menjalani tugasku selaku seorang istri. Aku senantiasa bergantung padanya alasannya saya menganggap hal itu telah seharusnya sehabis apa yang dia kerjakan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.   Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja dilema, saya senantiasa menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat dia menaruh sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika beliau menggunakan komputerku biarpun hanya untuk menyelesai-kan pekerjaannya. Aku marah bila ia menggantung bajunya di kapstok bajuku, saya juga murka jikalau dia menggunakan pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah jikalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika saya sedang bersenang-bahagia dengan teman-temanku. Tadinya saya menentukan untuk tidak mempunyai anak. Meskipun tidak melakukan pekerjaan , tapi saya tak ingin mengelola anak. Awalnya beliau mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya dia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai sebuah hari saya lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu dia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya sehabis lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.   Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan makin bertambah dikala saya mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang merepotkan. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi semoga saya tidak hamil lagi. Dengan patuh beliau melaksanakan semua keinginanku alasannya adalah saya mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.   Waktu berlalu hingga belum dewasa tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangkit paling final. Suami dan bawah umur telah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengirim anak-anak ke sekolah. Hari itu, beliau mengingatkan jika hari itu ada perayaan ulang tahun ibuku. Aku cuma menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan insiden tahun sebelumnya, dikala itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di program ibu. Yaah, alasannya adalah merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga tidak senang kedua orangtuaku.   Sebelum ke kantor, lazimnya suamiku mencium pipiku saja dan dibarengi bawah umur. Tetapi hari itu, dia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun jadinya ikut tersenyum bareng anak-anak. Ia kembali mencium hingga berulang kali di depan pintu, seolah-olah berat untuk pergi.   Ketika mereka pergi, akupun menetapkan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku berjumpa salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami berbincang-bincang dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya saya mesti membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku saat menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku sampai bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berupaya mengenang-ingat apa yang terjadi sampai dompetku tak bisa kutemukan saya menelepon suamiku dan mengajukan pertanyaan.   “Maaf sayang, kemarin Farhan meminta duit jajan dan aku tidak mempunyai duit kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, bila tidak salah saya letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menerangkan dengan lembut.   Dengan marah, saya mengomelinya dengan bernafsu. Kututup telepon tanpa menunggunya tamat bicara. Tak lama lalu, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??” “Sayang, aku pulang kini, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang kini ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir saya menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menanti jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon.  Aku berbicara dengan kasir dan menyampaikan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya salon yang sahabatku bergotong-royong telah membolehkanku pergi dan menyampaikan aku bisa membayarnya nanti jikalau saya kembali lagi. Tapi rasa malu alasannya “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggal-an dompet membuatku gengsi untuk berhutang dahulu.   Hujan turun saat saya melihat keluar dan berharap kendaraan beroda empat suamiku secepatnya hingga. Menit berlalu menjadi jam, aku makin tidak tabah sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun telah berkali-kali kutelepon. Padahal lazimnya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak yummy dan marah.   Teleponku diangkat sesudah berulang kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar bunyi ajaib menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa dikala sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu secepatnya. Lelaki ajaib itu ternyata seorang polisi, ia memberi tahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan dikala ini dia sedang dibawa ke tempat tinggal sakit kepolisian.   Saat itu saya cuma terdiam dan cuma menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan galau. Tanganku menggenggam dekat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap mengajukan pertanyaan ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.   Entah bagaimana hasilnya saya sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang cuma membisu seribu bahasa menanti suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu mesti melakukan apa sebab selama ini dialah yang melaksanakan segalanya untukku. Ketika akhirnya sesudah menunggu beberapa jam, sempurna dikala kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan gosip itu. Suamiku sudah tiada. Ia pergi bukan sebab kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.   Selesai mendengar realita itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak bisa membuatku menangis.   Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, saya melongo menatap tampang itu. Kusadari baru kali inilah saya sungguh-sungguh memandang parasnya yang terlihat tertidur pulas. Kudekati parasnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah dia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan parasnya yang sudah hambar dan kusadari inilah kali pertama kali saya menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.   Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap supaya airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, saya ingin mengenang semua bagian wajahnya supaya ingatan elok wacana suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku makin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengendalikan prosesi pemakaman tidak bisa membuatku berhenti menangis. Aku berupaya menahannya, namun dadaku sesak mengenang apa yang sudah kuperbuat padanya terakhir kali kami mengatakan.   Aku teringat betapa aku tak pernah mengamati kesehatannya. Aku nyaris tak pernah menertibkan makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia mengamati vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama saat mengandung dan sesudah melahirkan. Ia tak pernah mangkir mengingatkanku makan terorganisir, bahkan kadang-kadang menyuapiku kalau saya sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan alasannya adalah saya tak pernah bertanya. Bahkan saya tak tahu apa yang dia senangi dan tidak digemari. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku ialah penggemar mie instant dan kopi kental.   Dadaku sesak mendengarnya, alasannya adalah aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant alasannya aku nyaris tak pernah mengolah masakan untuknya. Aku cuma mengolah masakan untuk belum dewasa dan diriku sendiri. Aku tak perduli beliau sudah makan atau belum dikala pulang kerja. Ia mampu makan masakanku cuma jikalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari alasannya adalah dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau merespon permintaannya untuk pindah lebih erat ke kantornya alasannya adalah tidak mau jauh-jauh dari kawasan tinggal teman-temanku.   Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersama-sama onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di kawasan tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal menyanggupi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia alasannya adalah mereka tak pernah tahu mengapa saya begitu terluka kehilangan dirinya.   Hari-hari yang kujalani sehabis kepergiannya bukanlah keleluasaan mirip yang selama ini kuinginkan namun aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk bengong memandangi piring kosong. Ayah, ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah ketika suamiku membujukku makan bila saya sedang mengambek dulu. Ketika saya lupa menjinjing handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya mirip biasa dan ketika malah ibuku yang datang, saya berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap dia yang tiba. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali saya tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam saya menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.   Dulu saya begitu kesal kalau tidur mendengar bunyi dengkurannya, tapi kini aku bahkan sering terbangun alasannya rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal alasannya dia sering berserakan di kamar tidur kami, namun sekarang aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu saya begitu kesal bila beliau melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, kini saya memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak senang ia menciptakan kopi tanpa ganjal piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang umum disembunyikannya, kini dengan gampang kutemukan meski saya berharap mampu mengubah kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan sebab aku baru menyadari bahwa beliau mencintaiku dan saya sudah terkena panah cintanya.   Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah alasannya semua kelihatan wajar meskipun ia telah tidak ada. Aku murka alasannya baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku murka karena tak mampu menghentikan semua penyesalanku. Aku marah sebab tak ada lagi yang membujukku agar damai, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat walaupun kini kulakukan dengan tulus. Aku sholat alasannya adalah aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun sebab sudah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu meniadakan dukaku bertahap.  Cinta Allah padaku ditunjukkanNya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan belum dewasa. Teman-temanku yang selama ini kubela-belai, hampir tak pernah memberikan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.   Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga meng-ingatkanku untuk berdiri dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa resah merasukiku. Selama ini saya tahu beres dan tak pernah melakukan pekerjaan . Semua dilaksanakan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan cuma jumlah rupiah yang beliau transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan langsung dan setiap bulan duit itu hampir tak pernah bersisa.   Dari kantor tempatnya melakukan pekerjaan , aku menemukan gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika menyaksikan-nya saya melongo tak menduga, ternyata seluruh honor-nya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh duit lain untuk menyanggupi keperluan rumah tangga alasannya adalah aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang saya tahu kini saya mesti melakukan pekerjaan atau anak-anakku takkan bisa hidup alasannya jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi melakukan pekerjaan di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya senantiasa diatur olehnya.   Kebingunganku terjawab sementara waktu kemudian. Ayahku tiba bareng seorang notaris. Ia menenteng banyak sekali dokumen. Lalu notaris memperlihatkan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan belum dewasa, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.   Istriku Liliana tercinta, Maaf sebab mesti meninggalkanmu apalagi dulu, sayang, maaf alasannya harus membuatmu bertanggung jawab mengelola semuanya sendiri. Maaf sebab aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat alasannya adalah mencintaimu dan anak-anak ialah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu. Seandainya saya mampu, saya ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi saya tidak ingin kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang sukar setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan namun saya berharap sayang mampu memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik bawah umur. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang. Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk menciptakan hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi keleluasaan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kamu lakukan selama ini. Maafkan bila aku menyusahkanmu dan biar Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku. Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang nakal lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!   Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku bila dia mengantarkan note.   Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku mempunyai beberapa asuransi dan simpanan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku menciptakan beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan perjuangan tersebut cukup berhasil walaupun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku cuma mampu menangis terharu mengenali betapa besar cintanya pada kami, sehingga dikala akhir hayat menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.   Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya laki-laki yang hadir tak bisa menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selama-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku dikala suamiku pergi.   Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang perjaka dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga mampu masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?” Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah opsi hatimu, cintailah apa yang dia miliki dan kamu akan menerima segalanya. Karena cinta, kamu akan mencar ilmu menyenangkan hatinya, akan mencar ilmu menerima kekurangannya, akan mencar ilmu bahwa sebesar apapun problem, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”   Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah hingga sekarang?” Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dahulu, mirip ayah menyayangi kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”   Aku mungkin tak mujur sebab tak sempat memperlihatkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, namun menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya alasannya kematian, tetapi saya tak pernah mampu bebas dari cintanya yang begitu nrimo.       PS: Tulisan ini ialah kiriman dari seorang sahabat. Begitu menjamah. Sungguh benar adanya bahwa kasih yang tulus tak akan pernah lekang disantap zaman.
Sumber http://worldonstory.blogspot.com


EmoticonEmoticon