BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Fungsi yang paling pokok dari suatu bank sentral ialah bertindak selaku the bankers’ bank atau lender of the last resort . Bank melakukan transaksi setiap harinya. Salah satu yang termasuk kegiatan bank paling intensif ialah lalu lintas duit antar bank yang disebabkan alasannya lalu lintas giro dari semua pemegang rekening bank. Bank berutang kepada bank lain jika duit nasabah berpindah ke bank lain tersebut, dan sebaliknya. Jumlah uang keseluruhan yang setiap harinya masuk ke dalam bank tidak pernah persis sama dengan jumlah duit keluarnya. Di antara seluruh bank yang ada di negeri ini, semuanya dihitung menjadi satu, sehingga setiap akhir hari posisinya setiap bank ketahuan, apakah saldonya plus atau minus. Penyatuan keseluruhan ikhtisar kemudian lintas duit antara semua bank ini disebut clearing (kliring). Kalau suatu bank mengalami saldo minus, namun masih mempunyai uang sendiri untuk membayarnya, itu sungguh normal menurut (Kwan Kian Gie) Terkadang bank selsai dengan posisi minus yang lebih besar jumlahnya dari duit yang dimilikinya. Dalam hal seperti ini, namanya “bank kalah kliring”, atau bank dalam posisi minus. Biasanya, dalam posisi seperti ini, jikalau jumlahnya tidak terlampau besar, bank yang kalah kliring bisa meminjam dari inter bank money market atau call money market yang kegiatannya pinjam meminjam dalam waktu 24 jam dan cuma dibolehkan untuk bank. Kalau jumlahnya terlampau besar, sehingga minusnya tidak dapat ditutup dengan derma dari inter bank call money market , bank sentral wajib turun tangan membantunya. Namun dengan kriteria tertentu dan kehati-hatian yang sebagaimana mestinya. Bank dalam posisi seperti ini telah mesti diawasi dengan ketat. Walaupun harus dengan persyaratan, bank sentral wajib memperlihatkan talangan semoga bank yang bersangkutan mampu membayar kepada bank yang mempunyai utang. Melihat status BI yang menjadi bank sentral, Akhir-simpulan ini persoalan laporan hasil audit Bank Indonesia oleh Badan Pemeriksa Keuangan sangat banyak dibahas dan diberitakan. Salah satu dilema yang mencuat berhubungan dengan audit tersebut ialah yang menyangkut apa yang lalu disebutkan sebagai derma likuiditas yang diberikan Bank Indonesia terhadap perbankan, Yang dikenal sebagai BLBI. Dan a tas undangan DPR, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) mempublikasikan laporan audit pemeriksaan bernomor 06/01/Auditama II/AI/VII/2000 tertanggal 31 Juli 2000. Dengan Judul “LAPORAN AUDIT INVESTIGASI Penyaluran dan Penggunaan BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA (BLBI)”. Ringkasan Eksekutifnya dimulai dengan “Audit dilakukan pada Bank Indonesia dan 48 bank akseptor BLBI, ialah 10 Bank Beku Operasi (BBO), 5 Bank Take Over (BTO), 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan 15 Bank Dalam Likuidasi (BDL).” Berikut ini kutipan beberapa masalah yang penting sebagai berikut. “BI tetap tidak melaksanakan stop kliring terhadap bank-bank yang sudah mengalami overdraft dalam jumlah banyak dan waktu yang lama.” “Dispensasi kepada bank-bank yang rekening gironya bersaldo debet untuk tetap mengikuti kliring, pada mulanya diberikan dalam rentang waktu tertentu tanpa ada batasan jumlah maksimal. Namun dalam kemajuan selanjutnya keringanan tersebut diberikan tanpa batasan waktu dan jumlah optimal.” “Dispensasi semacam itu telah dilaksanakan oleh BI jauh sebelum krisis menimpa tata cara perbankan nasional. Hal ini terbukti dari adanya beberapa bank yang sudah lama overdraft sebelum krisis, namun tidak dikenakan sanksi stop kliring.” Meskipun permasalahan telah ada titik jelas a kan namun ramainya perdebatan perihal hal ini belum menambah kejelasan tentang apa bekerjsama duduk perkara tersebut dan alasannya itu susah pula digambarkan bagaimana penyelesaiannya. Pada waktu yang sama ada yang beropini bahwa semuanya sudah terang dan tudingan siapa yang dianggap salah bahkan vonis nampaknya sudah berjatuhan. Bank Indonesia dibilang bobrok, gulung tikar dan ternyata memang sarang penyamun. D engan menyaksikan pada latar belakang dan perkembangan urusan yang masih nampak simpang siur tersebut. Seandainya semua tuduhan itu benar, gampang-mudahan bukan dilancarkan atas desain, isu maupun anlisis yang kurang tepat. Permasalahannya demikian serius, sayang jikalau kesimpulannya ditarik atas dasar banyak sekali hal yang kurang jelas dan mampu menimbulkan keraguan. RUMUSAN MASALAH Apa yang dimaksud dengan BLBI? Apa pokok permasalahan yang melandasi skandal BLBI? Bagaimana kronologis terjadinya BLBI? Bagaimana penyelesaian masalah BLBI yang sedemikian rumit itu? TUJUAN Untuk mengenali klarifikasi mengenai BLBI. Untuk mengetahui pokok problem dalam skandal BLBI. Untuk mengetahui kronologis terjadinya BLBI. Untuk mengenali bagaimana penyelesaian kasus BLBI. BAB II PEMBAHASAN Pengertian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) BLBI ialah akomodasi dari Bank Indonesia untuk menjaga kestabilan sistim pembayaran yang mampu terganggu karena ketidak seimbangan (mismatch) antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank, baik jangka pendek maupun panjang. BLBI juga ialah fasilitas untuk mempertahankan kestabilan sistim perbankan yang bisa terganggu alasannya adalah penarikan dana perbankan secara besar-besaran pada bank-bank, Dan menyangkut fasilitas yang digunakan dalam operasi pasar terbuka, evakuasi bank maupun dana talangan dalam mempertahankan kestabilan sektor perbankan . Secara lazim BLBI ialah kemudahan Bank Indonesia yang tersedia bagi perbankan diluar kredit likuiditas BI (KLBI). Komponen terbesar dari BLBI adalah santunan likuiditas Bank Indonesia yang diberikan terhadap bank-bank yang mengalami dilema ketidak seimbangan antara penerimaan dan penarikan dana yang tidak dapat ditutup dengan sumber lain. Suatu bank dapat menghadapi masalah ketidak seimbangan ajaran dana ini, meskipun kondisinya baik atau sehat. Dalam perkembangan harian, mampu saja anutan dana masuk dari tagihan lebih kecil dari yang keluar alasannya adalah kewajibannya. Dalam suatu kliring harian, bank yang pembayarannya lebih besar dari pemasukan dananya, disebut kalah kliring. Berbeda dengan apa yang secara biasa penduduk beropini, bantu-membantu sebuah bank kalah kliring bukan ialah persoalan yang harus dirisaukan atau ini sebetulnya suatu hal yang umum saja. Tentu saja ini berlawanan dengan kondisi kalah kliring secara terus menerus. Kalau ini terjadi maka bank tersebut tentu menghadapi duduk perkara diluar ketidak seimbangan aliran likuiditas harian, tergolong duduk perkara tidak solven yang bersumber pada besarnya kredit macet atau problem manajemen. Mengenai problem kalah kliring ini tampaknya ada kesan di penduduk yang tidak semuanya benar. Di masayarakat kita rumor adanya bank kalah kliring (tidak harus benar terjadi) mampu mengakibatkan nasabah pada berama-ramai menawan dana deposito dan tabungannya dari bank yang didesas-desuskan kalah kliring tersebut. Ini implikasi dari transparansi yang belum ada dan kurang mengertinya masyarakat (bukan salah masyarakat). Hal ini berpadu dengan memburuknya dapat dipercaya otorita di masyarakat pada waktu krisis yang kemudian menjadikan timbulnya reaksi masyarakat secara ekstrim mirip beramai-ramai menawan dana mereka. Pada waktu krisis rumor demikian banyak beredar dan sangat mengganggu pengelolaan kestabilan sistim perbankan. Ada bank yang diberitakan salah satu cabangnya di Singapore ditutup dan ini mengakibatkan terjadinya penarikan dana nasabah cukup besar, padahal bank yang bersangkutan punya cabang di Singapore saja tidak. Ada pula bank yang diberitakan pemiliknya, seorang konglomerat, meninggal dan ini mengakibatkan imbas yang sama pada bank tsb. Sedihnya persaingan yang kurang sehat antar perbankan sering mendorong terjadinya rumor yang dapat mempersulit posisi sebuah bank. Ini problem belum kuatnya 'governance' pada industri perbankan kita, tidak hanya pada otoritanya. Kalau hal ini meluas maka hasilnya justru merugikan perbankan sebagai sistim. Ini memang terjadi pada waktu dapat dipercaya otorita dan Pemerintah pada umumnya menurun dalam krisis yang berkepanjangan. Dalam keadaan wajar , bank yang kalah kliring dapat mencari dana untuk menutup kekurangan tersebut dengan meminjam dari bank lain. Pinjaman ini dicari dari pasar duit antar bank dengan suku bunga yang berlaku. Di Jakarta untuk sejumlah bank besar (dulu sebanyak lebih dari 20 bank) terdapat tingkat bunga antar bank yang disebut JIBOR ( Jakarta Inter Bank Offer Rate ) yang menjadi kriteria. Akan namun untuk bank-bank lain, bank-bank kecil, umumnya mesti membayar bunga yang jauh lebih besar dari suku bunga yang berlaku bagi bank-bank besar yang tergabung dalam JIBOR ini. Karena santunan ini cuma untuk jangka waktu sangat pendek, suku bunga bantuan antar bank ini lebih tinggi dari yang berlaku untuk perlindungan terhadap nasabah biasa yang diketahui masyarakat luas. Pada waktu krisis keuangan mulai menyerang perbankan, ialah sehabis keketatan likuiditas meningkat sebagai implikasi dari pengambangan rupiah dan tindakan menjaga nilai rupiah lewat budi fiskal (menahan pengeluaran berkala ), kebijakan moneter (kenaikan suku bunga SBI hingga lebih dari dua kali lipat dan penghentian pembelian SBPU oleh BI) dan gebrakan pada dana perbankan (pengalihan deposito berbagai BUMN dan Yayasan menjadi SBI), maka menurunnya keyakinan antar bank mulai dinikmati. Pasar duit antar bank menjadi lebih terkotak-kotak, bank yang masih memiliki keunggulan likuiditas harian tidak bersedia melepas likuiditasnya di pasar duit antar bank. Kalau bersedia melepas likuiditas yang berlebih, hanya kepada bank lain yang benar-benar dikenalnya, dan melepasnya dengan suku bunga yang sangat tinggi. Dalam keketatan likuiditas sekitar September 1997 ada bank yang harus mengeluarkan uang suku bunga setinggi 200% per tahun, bahkan lebih tinggi lagi untuk mendapatkan dana guna menutup kekurangan likuiditasnya. Ini yang menimbulkan sebagian kritik menyalahkan kebijakan pengambangan rupiah pertengahan Agustus 1997. Sebagian bank tidak dapat mendapatkan terusan likuiditas sama sekali, padahal mengalami duduk perkara mismatch likuiditas. Bank-bank inilah intinya yang terpaksa lari ke BI untuk mengajukan permintaan santunan likuiditas. Mengapa terpaksa? Karena bahwasanya, dalam keadaan wajar , mereka tidak mau jikalau dikenali bank lain bahwa mereka pergi ke BI untuk meminta pertolongan likuiditas. Dalam keadaan wajar hal ini dianggap sama dengan memberikan kekurangan mereka kepada bank-bank lain, yang merupakan suatu tabu. Selain itu suku bunga kemudahan diskonto ini lebih tinggi dari suku bunga pasar antar bank, karena mengandung suatu hukuman atau penalty. Di sinipun tampaknya terdapat salah pemahaman di masyarakat. Seolah-olah BLBI ini seperti kredit likuiditas BI untuk program-program Pemerintah melalui KLBI yang suku bunganya lebih rendah dari suku bunga pasar atau ada unsur subsidinya. Padahal suku bunga BLBI senantiasa lebih tinggi dari suku bunga pasar antar bank (JIBOR) yang juga lebih tinggi dari suku bunga untuk nasabah lazimbank, karena jangka waktunya sungguh pendek. Ini salah satu alasannya adalah mengapa dalam kondisi sangat ketatnya lukuiditas dan dalam kondisi menurunnya dogma kepada perbankan BLBI ini meningkat besar, alasannya adalah jumlah pokok dana itu sendiri maupun suku bunganya yang jauh lebih tinggi dari suku bunga pasar. Selain itu, bagi bank yang kehilangan dana deposito dalam valas, pada waktu ada penarikan besar-besaran, maka kebutuhan dana sumbangan likuiditas dalam dollar ini pada waktu dirupiahkan menjadi sungguh besar selaku akibat dari terpuruknya nilai rupiah selama krisis. Mungkin perlu dikemukakan di sini bahwa setiap bank itu mempunyai rekening pada BI. Di dalam rekening ini ada tagihan perbankan terhadap BI yang sekurang-kurangnyasebesar cadangan wajib bank yang mesti disimpan di BI atau yang disebut giro wajib minimum (GWM). Sebagaimana dikenali, sejak Pakto 1988 besarnya giro wajib minimum ini yakni 2% dari dana pihak ketiga yang semula tidak perlu disimpan di BI. Akan namun sejak tahun 1996 aku kerjakan perubahan, GWM dinaikkan menjadi 3% dan setahun lalu menjadi 5% dari dana pihak ketiga. Selain itu mulai ketika tersebut dana GWM harus disimpan di BI. Mungkin penduduk ingat betapa gencarnya kritik dari banyak pengamat waktu BI memajukan GWM, padahal dalam benak aku peningkatan itu mesti dilanjutkan untuk mendorong kehati-hatian perbankan. Coba bayangkan seandainya ketentuan GWM belum dirubah jumlah BLBI tentu akan lebih besar lagi. Dalam kondisi wajar biasanya bank memiliki saldo konkret pada BI lebih besar dari GWM tersebut, sekedar untuk jaga-jaga. Kalau sebuah hari bank kalah kliring, bisa juga bank yang bersangkutan memakai dana yang ada di BI tersebut sepanjang ini masih tidak mengurangi GWM. Bank akan cari sumber diluar BI sedapat mungkin dan tidak akan menggunakan dananya untuk pemenuhan GWM, alasannya implikaksi dari penggunaan kemudahan BI maupun penalti yang mesti dibayar bila ketentuan GWM dilanggar. Sanksi pelanggaran GWM adalah 150% dari JIBOR overnight untuk setiap pelanggaran dan terus meningkat menjadi 400% dari JIBOR bila pelanggaran terjadi dalam dua ahad berturut-turut. Pokok permasalahan Perbedaan Sudut Pandang Pemberian BLBI kelihatannya dilihat sebagai sebuah tindakan yang mengandung komponen penyelewengan oleh Bank Indonesia dan karena itu ialah sebuah bukti kebobrokan bank sentral ini. Ini bahkan digambarkan sebagai suatu tindakan yang mampu dilihat sebagai penjarahan duit rakyat untuk memperkaya konglomerat yang dilaksanakan oleh pemilik banyak sekali bank sesungguhnya dengan Bank Indonesia, suatu hal yang mengganggu rasa keadilan. Alangkah seramnya masalah ini dan alangkah runyamnya bank sentral kita, kalau penggambaran atau tuduhan ini memang benar. Ini sekaligus membenarkan penyataan bahwa forum ini sarang penyamun. Hanya d engan modal awal pendirian bank yang disetor Rp. 10 milyar para konglomerat mampu mengumpulkan dana trilyunan rupiah. Mereka terkejut , akan tetapi m ereka tidak paham sama sekali bahwa dana itu milik masyarakat. Mereka tidak paham bahwa laba bank berisikan spread yang tipis, resiko kredit macet besar, sehingga dibutuhkan mental kehati-hatian serta adat yang khusus. Mereka mata gelap. Uang dipakai seenaknya sendiri untuk memberi kredit terhadap dirinya sendiri secara besar-besaran yang digunakan untuk membentuk konglomerat . Maka kreditnya banyak yang macet di tangannya sendiri. Tetapi sebab bank miliknya, maka dengan mudah pembukuan keuangan mampu direkayasa sampai terlihat cantik dan sehat. Namun k akhlak IMF mengetahui bahwa bank-bank sungguh kropos alasannya adalah disalah gunakan oleh pemiliknya sendiri, 16 bank yang paling parah ditutup secara tiba-tiba. Pemilik uang yang mempercayakannya pada bank-bank yang ditutup itu tentu terkejut dan murka, karena laporan keuangan bank yang diiklankan sangat sehat. Dua hari kemudian berturut-turut bank-bank lain yang tidak ditutup di-rush. IMF beserta menteri-menteri kroninya panik. Rush mesti dihentikan dengan biaya berapa saja. Dalam beberapa hari lik u iditas yang dikeluarkan oleh BI untuk menghentikan rush sebesar Rp. 144 trilyun. Menurut BPK lebih dari 95,78% dari uang ini tidak mampu dipertanggung jawabkan. Setelah rush berhenti, observasi meyakinkan bahwa pemilik bank tidak mungkin mengembalikan BLBI, sebab dana milik masyarakat yang ditarik kembali dengan rush diinvestasikan pada perusahaan-perusahaan. Apakah memang demikian? Masalah ini dianggap sudah demikian terang ada langkah-langkah penyelewengan, ada korupsi yang terjadi sebab kolusi antara pejabat BI dengan pemilik banyak sekali bank. Akan namun pernyataan yang menyebutkan sudah jelas ada penyelewengan ini mendasarkan atas banyak sekali asumsi atau prakonsepsi yang mungkin tidak tepat, bahkan tidak benar. Nampaknya yang mendasari kecurigaan akan adanya kolusi ini ialah praanggapan bahwa karena dimasyarakat sangat banyak terjadi kolusi dan korupsi, maka pasti demikian pula dengan pertolongan BLBI kepada perbankan. Mungkin pendapat ini mendasarkan pada alasan bahwa bila orang cari secarik surat informasi saja sering harus mengeluarkan uang duit semir, terlebih mendapatkan BLBI. Mungkin tidak masuk diakal banyak orang bahwa dukungan fasilitas sebesar ini terjadi tanpa adanya uang pelicin. Esensi dari tuduhan atau bahkan vonis yang mengatakan bahwa tunjangan BLBI yang jumlahnya mengagumkan ini pasti menyangkut uang haram. Karena kecurigaan terjadinya penyalah gunaan kemudahan ini dan sebab besarnya jumlah dana yang tersangkut, maka lalu dicurigai bahwa hal ini pasti terjadi alasannya adalah kolusi yang menyangkut duit pelicin. Inilah dasar dari emosi yang meluap untuk menyampaikan bahwa dalam permasalahan BLBI tentu ada bagian kongkalikong dan korupsi. Kecurigaan ini bertambah alasannya hukum yang jelas dari dukungan BLBI tidak pernah dimengerti biasa alasannya memang sungguh sedikit bantuan penjelasan terhadap penduduk . Bank Indonesia yang memang tidak banyak menunjukkan klarifikasi terhadap masyarakat mengenai persoalan ini dianggap kurang transparan, bahkan mungkin ada tuduhan bahwa ada kesengajaan merahasiakan hal ini. Dengan perkataan lain kurang at a u tidak adanya klarifikasi ini dianggap ialah sebuah kesengajaan untuk merahasiakan atau menutup masalah. Pada waktu audit BPK menyebutkan bahwa terdapat kelemahan pengawasan intern, dan sebab itu angka yang disajikan tidak bisa diterima kebenarannya, maka sebagian orang langsung menginterpretasikan hal ini selaku suatu konformasi adanya peyelewengan dalam perlindungan BLBI. Demikian mungkin kecurigaan dan tuduhan dari mereka yang mengatakan bahwa ada ketidak beresan dukungan BLBI terhadap perbankan pada waktu berkecamuknya krisis. Padahal sekiranya kecurigaan tersebut tidak ada sesungguhnya, bahkan sekiranya terjadi penyelewengan pada penggunaannya, ini tidak otomatis bermakna ada penyelewengan dalam sumbangan akomodasi tersebut. Keengganan untuk mengakui terlebih mendapatkan, bahwa kondisi waktu krisis itu berbeda dengan kondisi normal juga menimbulkan besarnya kecurigaan tersebut. Karena itu perbedaan ukuran yang dipakai untuk menganggap kondisi juga menambah kecurigaan ini. Padahal bergotong-royong bukan sesuatu yang gila kalau pernilaian suatu keadaan yang hebat seperti krisis dengan memakai ukuran-ukuran yang berlaku untuk keadaan normal, menghasilkan suatu yang menampakkan kesenjangan. Perbedaan atau kesenjangan ini menjadi duduk perkara karena adanya kecurigaan tersebut. Sedang tanpa kecurigaan tersebut sebenarnya tidak mesti mengherankan bahwa kita mempunyai citra yang berlainan antara kondisi keadaan krisis dan wajar . Akan tetapi jikalau kita tidak mau mengakui bahwa kondisinya berlainan, sebab itu ukuran yang digunakan juga sama, maka kecurigaan tersebut menjadi muncul. Seandainya semua ini terjadi dalam kondisi wajar , tanpa ada krisis, adanya kecurigaan tersebut sudah sepantasnya. Dalam rapat di Komisi IX dewan perwakilan rakyat awal Desember 1999 ada pendapat berkaitan dengan masalah akomodasi preshipment (pra pengapalan) , bahwa dalam krisis kecepatan bertindak itu sungguh penting, ' speed is the essence'. Kecepatan bertindak ini menuntut indentifikasi problem, analisis dan penentuan langkah-langkah, tergolong aturan pelaksanaannya mesti dilaksanakan sangat cepat, bahkan seperti semua dilaksanakan secara simultan. Hal ini kadang kala mengorbankan ketelitian. Kalau diukur dengan patokan atau ukuran kondisi normal maka nampak yang dilaksanakan minimal kelihatan berserakan atau ngawur. Akan tetapi yang lebih seram yaitu asumsi atau perkiraan adanya kesengajaan untuk sebuah rekayasa dalam sebuah tindakan kolusif guna mencari laba pribadi atau kalangan. Memang menganalisis sesudah semuanya terjadi, tergolong implikasi yang timbul memberi laba bagi yang menganalisis, seolah-olah menjadi jauh lebih tajam dari mereka yang mesti melakukan tanpa isu yang memadai. Di Amerika Serikat ada perumpamaan ' Monday night quarterbacking ', artinya memeriksa sesudah peristiwa berlalu. Ini memang nampak mudah alasannya seluruhnya terlihat lebih terperinci, tergolong implikasi dari masalah serta jalan keluar yang sudah diambil dan ternyata tidak maksimal, bahkan mungkin keliru, berdasarkan kaca mata sekarang. Memang sekarang ternyata krisis di Indonesia dan segala implikasinya lebih parah dari negara-negara lain, meskipun semula kebanyakan mengakui bahwa pada awalnya baik kondisi maupun tindakan yang diambil keadaan Indonesia lebih baik dari negara-negara lain yang terkena krisis berat. Di dalam negeri akreditasi ini memang hampir tidak ada. Akan namun ini mungkin alasannya 'budaya' kita yang sangat sulit memberi apresiasi, bahkan untuk hal yang jelas terjadi. Menurut catatan Dr. Stiglitz, Chief Economist Bank Dunia perihal hal ini patut direnungkan. Dengan memakai ilustrasi kecelakaan kendaraan beroda empat di sebuah jalan dia mengatakan bahwa kalau kecelakaan tersebut hanya sekali dua kali terjadi, mungkin yang salah yakni pengemudinya. Akan tetapi jika kecalakaan tersebut sering sekali terjadi atau terdapat banyak kecelakaan ditempat tersebut, maka mungkin perlu dipertanyakan konstruksi dari jalan tersebut serta kondisi sekelilingnya. Dengan mengambil paralelisasi dari kecelakaan di atas, krisis yang melanda demikian banyak negara ini memang tidak mampu kita lihat selaku sebuah yang berdiri sendiri. Kita mesti bersedia mengakui bahwa krisis yang terjadi selain saling terkait juga merupakan duduk perkara yang berhubungan dengan sistim yang berlaku, kelembagaan atau infrastruktur yang ada pada perekonomian masing-masing, baik pada sektor ekonomi-keuangan maupun sosial-politik. Kelembagaan atau infrastruktur yang merupakan bagian dari sistim yang ada ini ialah lingkungan bekerjanya roda ekonomi-keuangan. Kita boleh saja menyampaikan ini terlalu teoritis atau abstrak, akan tetapi semua ini sungguh terperinci memiliki andil tentang terjadinya krisis, bagaimana jalan keluar yang dicoba ditempuh, bagaimana reaksi masyarakat dengan seluruh implikasi dan dampaknya. Terlalu cepat menuduh pengemudinya yang salah, walaupun menggembirakan dapat menjauhkan kita dari mendapatkan duduk perkara yang sebetulnya. Terlalu lama berdebat dalam mencari siapa yang salah juga mengandung resiko bertambah besarnya dilema yang kesudahannya mesti dituntaskan dan biaya yang harus dipikul. Apakah ini merupakan upaya memindahkan kesalahan pada keadaan yang terjadi, pada sistim yang ada atau pada orang lain? Tidak, bukan demikian. Ini hanya mengingatkan bahwa menggunakan asumsi seperti semuanya serba wajar , semua tolok ukur dipenuhi, untuk mengecek apa yang terjadi pada waktu krisis, pada waktu kondisi sangat jauh dari biasa, terang tidak kongkret. Memang dalam analisis politik mesti ada yang diminta bertanggung jawab. Tetapi ini mesti dibedakan dengan memilih siapa yang menjadi kambing hitam. Semua Turut Andil BI, selaku bank sentral yang melakukan fungsi lending of the last resort , bertindak teledor. Hasil Audit BPK dan BPKP memberikan sebagian besar penyaluran BLBI oleh BI sekitar 95,8% dari total BLBI sebesar Rp 144,5 triliun tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pada tahap solusi BLBI, korupsi terjadi lagi dan menjadikan skandal baru. Obligor sengaja menyerahkan terhadap BPPN aset-aset yang tak pantas, di bawah nilai pinjaman, dan bahkan fiktif sebagai jaminan pelunasan kewajiban mereka. Menurut audit BPK, dari Rp 132,7 triliun aset yang diserahkan, nilai komersial aset hanya Rp 12,29 triliun. Kurang dari 10%! Sudah begitu, melalui kolusi dengan pejabat BPPN, SKL (Surat Keterangan Lunas) dengan gampang diberikan kepada obligor meskipun mereka cuma membayar sebagian kecil kewajibannya (rata-rata cuma sekitar 28%). Salim Group hanya mengembalikan dana sekitar 36,77% dari dana BLBI lebih dari Rp 25 triliun. Dengan kelihaiannya, tentu lewat kongkalikong dengan pejabat terkait, pemilik lama mampu berbelanja kembali asetnya yang telah diserahkan terhadap Pemerintah. Bahkan dengan harga sungguh murah. BCA, misalnya, direstrukturisasi dengan obligasi sebesar Rp 60,9 triliun, namun 51% sahamnya dijual cuma Rp 5,3 triliun. Ironinya, menurut Kwik, keputusan jahat mirip ini dibuat dalam rapat kabinet. Semua penerima rapat—Presiden Mega, Wapres Hamzah Haz, termasuk SBY dan Yusuf Kalla serta Boediono—menyepakati keputusan ajaib ini. Hanya Menteri Kwik saja yang menolak. Bukan cuma BCA, TPN (milik Humpuss) yang merupakan pembayar atas utang Humpuss senilai Rp 4,576 triliun dijual terhadap Vista Bella (ditengarai juga terafiliasi Humpuss) senilai Rp 521 miliar saja. Kekacauan penyelesaian skandal BLBI kian menjadi-jadi dengan dihapusnya faktor pidana obligor yang telah menemukan SKL lewat tunjangan kemudahan R&D atau Release and Discharge (pelepasan dan pengapusan) menurut Inpres No 8/2002 yang ditandatangani oleh Presiden Megawati. Sebelumnya, Presiden BJ Habibie memulai solusi masalah BLBI secara out of court settlement . Sekarang, Presiden SBY tidak tegas terhadap 8 obligor, bersedia menegosiasikan JKPS dan bahkan sempat menyambut obligor di Istana. Intervensi Asing Semua kekacauan dan kebodohan hebat ini, di samping akibat kesalahan Pemerintah, juga amat dipengaruhi oleh langkah-langkah IMF. Dengan kewenangan yang dimiliki pasca ditandatanganinya LOI, IMF bebas melaksanakan intervensi, mencampuri dan memaksakan kehendaknya pada hampir seluruh kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah lewat LOI dan Memorandum on Economic and Financial Policies . Tercatat, terdapat sekitar 1.300 butir janji LOI yang harus diimplementasikan Pemerintah. IMF sudah memperlihatkan nasehat ekonomi, bukan cuma salah namun menjerumuskan, yang balasannya justru memperparah krisis. IMF, contohnya, menekan Pemerintah untuk mengucurkan obligasi rekap dalam jumlah besar kepada pihak perbankan (lewat desakan sasaran penguatan CAR sekurang-kurangnya8%). Lalu, IMF menekan Pemerintah untuk segera menjual bank-bank rekap (antara lain BCA dan BDNI) dalam waktu singkat sehingga harga jualnya sangat minim mirip yang diterangkan di muka. Kronologis insiden yang mengakibatkan terjadinya urusan BLBI Skandal BLBI secara kronologis sampai detik ini masih dianggap misterius, kasus ini dibiarkan mengambang tak jelas arah dan tujuan nya. Runtuhnya re z im Soeharto disamping krisis ekonomi, juga dilema moneter yang terjadi dari sektor perbankan kita. BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) lahir untuk menanggulangi persoalan ini, adalah menutupi talangan hutang luarnegeri yang dijalankan para bankir tersebut. Bank yang banyak menjamur sebagai akibat kebijakan deregulasi perbankan dimasa orde gres karenanya runtuh dan jatuh gulung tikar, serta tetap tidak besar lengan berkuasa menahan nilai mata uang rupiah yang terus menurun , juga sektor perekonomian kita (industrialisasi yang dibantu oleh kredit bank) yang berserakan akibat kredit macet. Kredit macet itu saling berkaitan dan tali temali, antara industri terhadap bank, bank terhadap pemerintah, pemerintah kepada santunan asing, sehingga memperbesar beban hutang luarnegeri kita total menjadi 1200 trilyun. Akhirnya banyak bank yang diambil alih pemerintah dan lalu dijual kembali dibursa saham setelah sehat atau merger (digabungkan). Dan ada juga yang dinyatakan melarat dan hilang tak pasti rimbanya (begitupula pemiliknya). Berikut ini daftar kronologis kejadian-peristiwa yang menyangkut BLBI dalam bentuk tabel. No. Waktu Keterangan Juli 1997 Krisis Moneter, iman terhadap Rupiah merosot tajam BI memperluas rentang intervenÃs Kurs dari Rp. 192 (8%) menjadi Rp.304 (12%). BI melakukan pengetatan likuiditas dan menaikan suku bunga SBI dari 6% menjadi 14%. Pemerintah menghentikan pembelian SPBU dari bank-bank. Agustus 1997 Pemerintah menerapkan sistem mengambang (manage floating) , sehingga nilai rupiah mengambang bebas (free floating) Dana yayasan milik pemerintah dan BUMN dialihkan ke SBI BI menaikan suku bunga 30% (rentang waktu 1 bulan) dan 28% (janga waktu 3 bulan). SBI Repo, fasdis, KLBI, dan kemudahan BI lainnya tidak boleh sementara. Tingkat bunga di pasar duit melonjak drastis. Investor luar negeri melaksanakan agresi jual saham yang menimbulkan IHSG anjlok. Para fund manager menarik uang mereka. September 1997 Tgl 3 September, Soeharto memimpin rapat kabinet yang menyepakati pengucuran dana BLBI untuk menolong pemodalan bank-bank yang sedang kritis. SBI diturunkan sebanyak 3 kali Terjadi rush besar-besaran Oktober 1997 Pemerintah meminta santunan IMF. Tgl 30 Oktober 1997, LoI Pemerintah Rid an IMF ditandatangani. Inti akad dengan IMF: Restrukturisasi perbankan, restrukturisasi perekonomian, pengetahuan likuiditas, serta menaikan suku bunga, dan rencana penutupan 16 bank nasional. November 1997 Tgl 1 November 1997, berdasarkan SK Menteri Keuangan No. 86/1997, 16 bank dilikuidasi. Kembali terjadi rush besar-besaran, bank meminta fasilitas BI selaku the lender of the last resort . Terjadi Capital Flight, BLBI terus bertambah karena rush terus terjadi. Akibatnya jumlah bank yang bersaldo negatif berkembangtajam. Desember 1997 Perombakan Direksi BI (4 orang diberhentikan), diangkat direktur baru: Miranda Gultom dan Aulia Pohan. Rush dan Capital Flight terus meningkat. 27 Desember 1997, Presiden menyetujui kebijakan pinjaman SBPUK. Terjadi lonjakan penyaluran BLBI dalam jumlah yang signifikan, hingga meraih 66 triliun. Harga dolar pertamakali menembus Rp.5.000,-/ 1US$, hingga di permulaan Januari 1998 meraih Rp.15.000,-/ 1US$ Januari 1998 Pemerintah menginformasikan RAPBN 1998 yang mengasumsikan kurs Rupiah Rp.4.000,- / 1 US$, inflasi 9%, dan perkembangan ekonomi 4%. Namur, RAPBN ini tidak dipercayai pasar. Tgl 15 Januari 1998, LoI Pemerintah RI dan IMF ditandatangani. Tgl. 22 Januari 1998, nilai dollar mencapai Rp.17.000,-/ 1 US$. L/C perbankan nasional ditolak diluar negeri, sehingga sektor riil (komiditi ekspor) macet dan kondisi perbankan nasional memburuk. Tgl. 26 Januari 1998, pemerintah mempublikasikan Keppres 26/1998 ihwal Program Penjaminan Pemerintah untuk mengatasi dogma kepada perbankan. Melalui Keppres 27/1998 BPPN dibuat untuk melakukan penagihan utang kepada obligator. (Penyelesaian kewajiban BLBI dialihkan dari BI ke BPPN). Pemerintah membentuk Tim Penanggulangan Masalah Utang Swasta (TPMSUI) yang diketuai Radius Prawiro. Tgl. 15 Januari 1998, Menko Ekuin, Ginandjar Kartasasmita menyuruh BI membayar L/C bank swasta senilai US$ 900 juta berdasarkan Frankfurt Agreement . Februari 1998 Menteri Keuangan, Mar’ie mamad menunjukkan kesepakatan atas pembayaran sarat simpadnaa dana pihak ketiga yang ada di 16 bank yang dilikuidasi. Maret 1998 BI menaikan suku bunga SBI dan denda Giro Wajib Minimum 150%, 200%, dan 400% dari suku bunga JIBOR (Jakarta Inter Bank Offer Rate) Overnight . BI juga menaikan bunga saldo debet sebesar Rp. 500% dari suku bunga JIBOR Overnight . Pemerintah mempublikasikan PP NO. 38 Tahun 1998 yang memutuskan ketentuan permodalanbagi bank lazim. April 1998 Pemerintah membekukan 7 bank, mengambil alih 7 bank lainnya, dan menyatakan 40 bank dalam status penyehatan. Hal ini menyebabkan kenaikan jumlah dana BLBI. Pemerintah memperketat liquiditas, menaikan suku bunga SBI menjadi 9,25%-16,6%. Hasilnya, meskipun inflasi tetap meningkat, rupiah menguat Rp.7.800,-/ 1US$. Penggantian Direksi BI menjadi: Syahril Sabirin (Gubernur BI), Aulia Pohan, Miranda Gultom, Iwan Prawinara, Soebarjo Djojosumarto, Achwan, Achjar Ilyas, dan Dono Iskandar. Mei 1998 Kerusuhan terjadi di kota-kota besar Indonesia, terjadi penembakan yang menewaskan mahasiswa Trisakti pada demonstrasi 13-15 Mei 1998. Ketidakpastian politik menyebabkan terjadinya aksi Capital Flight, rupiah frustasi Rp.12.600,-/ 1US$. Soeharto jatuh pada tgl 20 Meil 1998. Agustus 1998 Pemerintah menandatangani bagan PKPS 9Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham) dalam bentuk MSAA dan MRA dengan Anthony salim (BCA), Sjamsul Nursalim (BDNI), Sudwikatmoko 9Surya-Subentra), dan Usman Admadjaja (Danamon) Oktober 1998 Menteri Keuangan menerbitkan Surat Utang pemerintah sebesar Rp. 20 triliun untuk mengkonversi BLBI menjadi penyertaan modal sementara pemerintah pada Bank Exim. September 1998 Tgl. 21 September 1998, diterbitkan klausul Release and Discharge (R & D) yang membebaskan obligator dari permintaan aturan kalau sudah membayar utang melalui penyerahan asset. November 1998 Tgl. 10 November 1998, pemerintah menerapkan acuan PKPS dengan penjadwalan pengembaliak BLBI selama 4 tahun. Januari 1999 Tgl. 29 Januari 1999, Hak tagih BLBI sebesar Rp. 144,5 triliun dialihkan dari BI ke BPPN, keputusan pengalihan hak tagih sesuai dengan Surat Menko Ekuin No. 1799/MK/4/1998. Februari 1999 Tgl. 6 Februari 1999, pengalihan hak tagih BLBI dari BI lepada pemerintah seara resmi ditandatangani oleh Syahril Sabirin (Gub. BI) dan Bambang Subianto (MenKeu). Tgl. 8 Februari 1999, pemerintah menerbitkan surat utang sebesar Rp. 64,5 triliun untuk mengeluarkan uang pelengkap dana BLBI lepada BI. Tgl. 29 Februari 1999, dilaporkan BI kembali mengucurkan dana BLBI pada sejumlah perbankan diluir BLBI senilai Rp. 144,5 triliun. Maret 1999 Tgl. 13 Maret 1999, pemerintah membekukan 38 bank, menggantikan 29 bank, dan merekapitulasi 7 bank. Januari 2000 Tgl. 5 Januari 2000, pemerintah berlawanan pendapat dengan BI soal jumlah BLBI. Menurut pemerintah, BLBI sejumlah Rp. 1645 triliun. Namun BI mengklaim Rp. 51 triliun lagi juga mesti dibayar pemerintah, yang dikucurkan BI kepada bank yang mengalami kesusahan likuiditas selama era November 1997-Januari 1998. Tgl. 29 Januari 2000, BPK menyatakan 95,78% dari total BLBI (Rp.144,5 triliun) tidak bisa dipertanggunjawabkan. Juli 2000 Tgl. 22 Juli 2000, audit BPKP juga pertanda terjadinya penyelewengan sebesar Rp. 54,5 triliun dari Rp. 106 triliun BLBI yang diberikan lepada 10 bank beku operasi dan 32 bank beku aktivitas usa (posisi audit. Per 31 Januari 2000) Agustus 2000 Tgl. 5 Agustus, Audi Final BPK menyatakan terdapat peluangkerugian negara Rp. 138,4 triliun dari Rp. 144,5 triliun BLBI yang dikucurkan. BPK juga menyatakan terjadi penyelewengan penggunaan BLBI sebesar Rp. 84,4 triliun oleh 48 bank peserta. Rp. 34,7 triliun (25%) dana BLBI telah dipertanggungjawabkan. Sumber: Marwan batubara Et. All , Skandal BLBI, 2008 P enyelesaian perkara BLBI Pemerintah, dalam hal ini lewat BPPN, terus melakukan aneka macam upaya untuk memaksimalkan pengembalian duit negara dari tangan para bankir, para pemegang saham terkait maupun dari para debitur masing-masing bank yang menerima penyaluran dana BLBI. Berbagai rancangan solusi yang sifatnya menyeluruh telah dibentuk dalam rangka menerima kembali dana BLBI tersebut. Dalam upayanya memaksimalkan pengembalian uang negara BPPN telah melakukan upaya solusi dengan membuat beberapa contoh persetujuansesuai dengan keadaan dan kemampuan dari para pemegang saham bank akseptor BLBI. Perjanjian tersebut berupa: Mengalihkan keharusan bank menjadi keharusan pemegang saham pengendali.Pemerintah, bareng pemegang saham bank beku operasi (BBO) dan bank beku aktivitas usaha (BBKU), menandatangani master settlement and acquisition agreemen (MSAA), teladan ini dan master refinancing agreement and note issuance agreement (MRNIA). Tujuannya untuk mengembalikan BLBI, baik melalui penyerahan aset maupun pembayaran tunai kepada BPPN. Pengkonversian BLBI pada bank-bank take over (BTO) menjadi penyertaan modalsementara (PMS). Mengalihkan utang bank ke pemegang saham pengendali, melalui pola penyelesaian keharusan pemegang saham pengendali (PKPS). Caranya dengan menandatangani akta akreditasi utang (APU). MSAA merupakan bagan untuk peserta BLBI yang dinilai asetnya mampu menutupi seluruh kewajiban. MSAA diberlakukan terhadap pemegang saham pengendali (PSP) bank yang masih memiliki harta cukup untuk menyelesaikan kewajibannya terhadap pemerintah. MSAA sendiri dibedakan menjadi dua jenis, ialah kepada pemegang saham pengendali Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan kepada pemegang pengendali saham Bank Take Over (BI, 2002). Masuk dalam kategori ini yakni pemegang saham dari Bank Central Asia, Bank Umum Nasional, Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Surya, serta Bank Risjad Salim International. Jika aset yang diserahkan dinilai tidak memadai, para pengutang BLBI memakai denah MRNIA. Melalui sketsa ini, para penandatangan harus menyerahkan jaminan langsung atau personal guarantee dan menyatakan kesediaan untuk menyerahkan embel-embel aset, jikalau aset yang telah diserahkan ternyata tetap belum mencukupi. Yang masuk dalam klasifikasi ini yaitu pemegang saham dari Bank Modern, Bank Umum Nasional, Bank Danamon, Bank Hokindo. Skema solusi dengan MSAA lalu mengakibatkan kontroversi. Terutama alasannya adalah aset yang diserahkan ternyata tidak sebanding dengan besar utang. Untuk itu, pemerintah menggunakan sketsa Akta Pengakuan Utang. Skema ini sama dengan MSAA, hanya pemegang saham pengendali mesti bertanggungjawab jikalau aset yang diagunkan ternyata tidak cukup untuk mengembalikan BLBI yang telah diterima. Sedangkan PKPS ialah penyempurnaan kepada mekanisme penyelasaian BLBI lewat MSAA dan MRNIA yang mengundang banyak komentar negatif. Caranya melalui penandatanganan akta pengukuhan utang (APU). Dalam sertifikat pengakuan utang (APU), prosedur penyelesaian kewajiban pemegang saham adalah dengan pembayaran secara tunai dalam jangka waktu secara berkala. Yang masuk dalam kategori ini yaitu pemegang saham dari bank-bank Bumi Raya Utama, BIRA, Sewu, Hastin, Tata, Namura Yasonta, Indotrade, Putera, Baja, Lautan Berlian, Papan Sejahtera, Yama, Tamara, Nusa Nasional, Intan, PSP, Namura Maduma, Bahari, Metropolitan, Bank Umum Servitia, Aken, Mashill, dan Sanho. Untuk APU, sudah dilaksanakan reformulasi jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS). Selain itu pembayaran yang menurut kontraksebelumnya jatuh tempo pada simpulan 2004, dipercepat menjadi selambat-lambatnya Juni 2003. Karena itu tidak ada jalan lain bagi pemegang saham yang tidak kooperatif selain penyelesaian hukum dengan melaporkan ke Kejaksaan BAB III PENUTUP Kesimpulan Jika ditelaah lebih dalam maka akar duduk perkara skandal BLBI disebabkan oleh: Pertama , adanya intervensi ajaib dan lemahnya pemerintahan. Asing, dalam hal ini IMF, melalui LoI diberi peluang oleh Pemerintah untuk mengendalikan perekonomian Indonesia. Alih-alih mengatur, yang terjadi justru menciptakan hancur dan menjerumuskan Indonesia ke jurang kemiskinan dan kesengsaraan , d itambah lagi sikap tunduk dan patuh terhadap pihak abnormal . Kedua, skandal BLBI memang sarat dengan praktik kongkalikong, korupsi dan pelanggaran hukum yang sudah ada. Melalui Inpres No 8/2002 Pemerintah menentukan penyelesaian skandal BLBI dengan lebih mengutamakan pengembalian aset daripada penegakan hukum. Dengan Inpres ini, Pemerintah memberi penjahat BLBI bukti penyelesaian berbentukpelepasan dan pembebasan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum, serta memberi kesempatan terus-menerus terhadap mereka dengan batas waktu yang selalu molor dalam pengembalian hutang, lewat mekanisme MSAA, MRNIA dan APU. Menurut Marwan Batubara (Anggota DPD RI), skandal BLBI sangat sukar dituntaskan sebab melibatkan dana besar, yang juga mempunyai arti para pebisnis besar; di samping melibatkan para penguasa dan lembaga internasional (IMF), yang memang berkepentingan dan menerima laba eksklusif dari kasus ini. Selain itu, juga ada upaya dari para penjahat BLBI yang ingin kondusif, supaya skandal tersebut tidak diungkit-ungkit. Mereka semuanya berkolusi dan menguasai forum-lemabaga peradilan dan forum-forum negara, tergolong orang-orang di parlemen. Ketiga, Pro Kapitalis. Kebijakan Pemerintah memberikan santunan likuiditas kepada bank-bank yang gulung tikar sebesar Rp 143triliun tersebut, sementara aspek utama penyebab kebangkrutanjustru terjadi alasannya adalah kejahatan yang mereka kerjakan sendiri, dimana uang rakyat yang dikumpulkan oleh para pemilik bank itu kemudian mereka pakai sendiri untuk membiayai proyek mereka. Nyata sekali ini ialah bentuk pemihakan Pemerintah kepada para kapitalis, dan telah memiskinkan rakyatnya sendiri. Sebabnya, dana-dana yang sebetulnya bisa dipakai untuk kepentingan rakyat, justru digunakan untuk membantu para penjahat hitam. DAFTAR PUSTAKA Marwan batubara Et. All , Skandal BLBI, 2008 Sumber http://worldonstory.blogspot.com
Minggu, 28 Juni 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon