Rujukan dilema bermuara pada hukum mengambil upah atas pengajaran Alquran. Berceramah merupakan satu dari sekian acara berdakwah yang mulia; menyampaikan pesan dan berbagi syiar di hadapan ratusan, ribuan, bahkan jutaan umat manusia. Ada misi berguna di sana. Tetapi, dinamika dunia dakwah pun berkembang. Ini beriringan dengan kemajuan teknologi dan lain sebagainya. Tak sedikit oknum pendakwah pada hasilnya terjebak dalam nalar bahan. Berdakwah pun sekaligus buka usaha. Seperti, memasang tarif tertentu atas jasa ceramahnya. Bolehkah memasang tarif untuk jalan dakwah? Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Hasanuddin AF mengatakan, dari segi hukum Islam, pada prinsipnya diperbolehkan mendapatkan imbalan jasa atas ceramah atau mengajarkan ilmu agama yang lain, seperti pengajaran Alquran. Akan namun, ia menggarisbawahi imbalan tersebut bukan tujuan utama. Dan, semoga tarif tersebut tetap tidak melampaui batas kewajaran. Motif paling mendasar kala berdakwah adalah niat untuk Allah SWT semata. Selain itu, memberlakukan tarif berdakwah, justru akan menghilangkan pahala dakwah itu sendiri. “Jika niatnya bisnis dan dibisniskan, itu tidak boleh,” ujarnya. Ia pun mengutip hadis riwayat Umar bin Khatab wacana pentingnya meluruskan niat segala masalah akan dikembalikan pada sejauh manakah niat dan motif yang bersangkutan. Bila sebatas dunia maka pahala tak beliau mampu. Sebab, hanya dunia yang beliau dapatkan. Ia pun mengimbau para pendakwah biar tidak mematok tarif. Tindakan pemasangan tarif, justru memiliki potensi menghancurkan gambaran dakwah tersebut. Ia merekomendasikan supaya sanksi sosial dijatuhkan pada oknum-oknum pematok tarif dakwah. “Jangan diundang lagi,” katanya. Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Prof Syamsul Anwar mengingatkan para pendakwah supaya tetap lapang dada dan tidak memasang tarif. Meskipun, dia menegaskan tidak ada larangan untuk memasang tarif untuk dakwah, namun hendaknya menyingkir dari komersialisasi tersebut. Menurutnya, pemasangan tarif kaitannya dengan kebiasaan yang berlaku. Semestinya, iltizam dini atau ketaatan kepada syariat, dengan tidak mengedepankan tarif, lebih ditekankan oleh yang bersangkutan. Kalaupun hendak memasang tarif, sewajarnya saja. “Masyarakat punya evaluasi tersendiri,” katanya. Komersialisasi Ketua Lajnah Bahtshul Masail Nahdlatul Ulama (LBM-NU) KH Zulfa Mustofa menyatakan, menurut perspektif agama, secara adat seorang ulama tidak boleh meminta bahkan memasang tarif. Memang, secara umum dikuasai ulama memperbolehkan penerimaan upah dari pengajaran ilmu agama, namun tidak dengan cara mematok tarif. “Tidak patut meminta apa pun alasannya adalah,” ujar alumnus Pesantren Maslakul Huda, Pati, Jawa Tengah, asuhan KH Sahal Mahfuz tersebut. Menurutnya, komersialisasi itu tak terlepas dari imbas media, khususnya televisi. Tingkat rating akan dijadikan alasan untuk memajukan tarif dakwah seseorang. Padahal, sikap seperti ini bisa mengancam kekekalan pahala. Ia pun teringat pesan yang tersirat Sang Guru, KH Sahal Mahfuz yang berpesan, 'Allim majjanan kama ‘ullimta majjanan (Ajarkanlah ilmu secara nrimo, sebagaimana engkau dididik secara gratis). Tak lupa, beliau sampaikan usul supaya para ulama mengingatkan oknum pendakwah manapun yang mematok tarif. Fikih klasik Dalam kajian fikih klasik, referensi dilema ini bermuara pada topik pengambilan upah atas pengajaran Alquran. Menurut golongan yang pertama, dilarang mendapatkan atau membisniskan pengajaran ilmu agama tak terkecuali Quran. Opsi ini berlaku di sejumlah mazhab, antara lain Hanbali di salah satu riwayat, Zaidiyyah, dan Ibadhiyyah. Sedangkan, Imamiyyah melihat hukumnya makruh selama ada syarat semenjak permulaan. Pihak ini berargumentasi, mengajarkan ilmu syariah dan Quran merupakan bakti yang tak berpamrih, cuma Allah SWT-lah yang mau membalasnya. Kebutuhan akan pelajaran ilmu agama dan Alquran sama pentingnya dengan urgensi mengajarkan shalat. Berbagi ilmu shalat ialah hal fundamental, tak boleh diperjualbelikan. Ini ditegaskan di banyak ayat, seperti surah an-Najm ayat 39, al-Qalam ayat 46, dan Yusuf ayat 104. Pandangan ini diperkuat oleh hadis riwayat Ubay bin Ka’ab. Dalam sabda itu, Rasulullah SAW memperingatkan seorang sobat yang mendapatkan kado atas pengajaran Quran yang dilakukannya. “ Jika engkau ambil maka sejatinya engkau sudah mengambil satu kurung api neraka ,” titah Rasul. Riwayat Ubadah bin as-Shamit memastikan larangan senada. Secara terang larangan itu dipertegas pula dalam hadis Abdurrahman bin Syibil. “ Jangan engkau cari makan darinya dan jangan pula mencari laba ,” sabda Nabi. Tak sepakat dengan golongan yang pertama, menurut kubu yang kedua, hukum mengambil upah dari mengajarkan ilmu agama atau Quran ialah boleh dan tak jadi soal selama tidak mematok harga tertentu. Pemasangan tarif terhadap kegiatan ini akan menghilangkan pahala dan keutamaannya. Pendapat itu merupakan opsi yang disokong oleh sejumlah ulama mazhab, yakni generasi kedua dari Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali berdasarkan salah satu riwayat, dan Zhahiri. Dalil yang dijadikan dasar oleh kubu kedua, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas. Hadis ini mengisahkan izin Rasulullah atas upah seorang sobat yang sudah membacakan ruqyah untuk warga yang terkena sengatan ular. “ Sesungguhnya, upah yang paling pantas bagimu ialah upah atas (pembacaan dan pengajaran) Alquran ,” sabda Rasul. Argumentasi berikutnya ialah cerita yang dinukilkan di riwayat Sahal bin Sa’ad. Rasul mengabulkan ijab kabul sahabatnya dengan mahar bacaan Quran. Tak sedikit generasi salaf yang memperlihatkan upah bagi para pengajar Quran, seperti Umar bin Khatab. Sosok berjuluk al-Faruq itu memberi upah dari kocek pribadinya kepada tiga pengajar Alquran di Madinah. Sa’ad bin Abi Waqash dan Amar bin Yasar memiliki tradisi mengupah para pembaca Alquran selama Ramadhan. Imam Malik pun pernah menegaskan, tak jadi soal menerima upah atas pengajaran ilmu agama, termasuk Quran. “ Aku belum pernah mendengar satu pun ulama yang melarangnya ,” kata penggagas Mazhab Maliki itu. Source : http://www.republika.co.id/info/dunia-islam/aliran/13/08/23/mrz2qb-pasang-tarif-dakwah-bolehkah Sumber http://worldonstory.blogspot.com
Jumat, 03 Juli 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon