PojokReview.com - Ada seorang anak yang hebat berenang, bahkan juara nasional tingkat Sekolah Menengan Atas, tetapi tetap tidak naik kelas alasannya adalah nilai matematika (dan turunannya, seperti fisika, kimia, akutansi, dll) sangat minim. Ada juga yang cerdik menari, namun nilai pelajaran matematika dan turunannya jeblok, lalu dianggap terbelakang oleh orang tuanya sendiri.
Namun, hal tersebut sebenarnya sudah berlangsung semenjak lama. Saat ini, hal itu mungkin ditenggarai alasannya pelajaran matematika dan turunannya dipelajari lebih banyak di sekolahan ketimbang pelajaran lain mirip kesenian dan sejarah misalnya. Itu kenapa, anak-anak yang mempunyai nilai tinggi umumnya akan lebih cendekia di bidang matematika.
Anak-anak yang mengerti dan pandai matematika akan jauh lebih tinggi rangkingnya, daripada yang tidak menguasai. Itu alasan kenapa Anda mampu dianggap kurang pandai sebab tidak memahami matematika.
Tapi, mirip sedikit diulas sebelumnya, ketidak tahuan dengan matematika membuat Anda dinilai kolot bergotong-royong telah jauh sejak sebelum masehi. Tepatnya, sejak kala filsuf Yunani antik, Anda akan tetap dicap orang yang "kurang pandai" jika tidak memahami matematika.
Dimulai dari Thales dari Miletus, yang menyebutkan bahwa alam semesta tersusun atas contoh tertentu yang mampu diukur, diprediksi, dan tentunya "dihitung". Jadinya, di abad Thales masih hidup, siapapun yang tidak memahami matematika akan kesulitan mengetahui tentang gagasan besar ihwal alam semesta.
Tapi, hal itu belum seberapa sebab Thales tidak mengatakan bahwa orang yang tidak mengerti matematika sebagai orang yang "kurang pandai". Yah, tokoh pertama yang menyebutkan statemen semacam itu adalah Phytagoras.
Anda pasti akan kenal dengan nama Pitagoras yang teoremanya masih dipakai sampai detik ini. Pitagoras dari Samos bukanlah orang yang menemukan matematika, tapi orang yang sungguh fanatik dengan matematika. Dan semua yang diajarkannya bermula dari premis "Pantha Arithmos" alias "seluruhnya ialah angka". Kaprikornus, kalau Anda tidak mempunyai ketertarikan dan wawasan perihal "angka" (kita sebut saja matematika) maka Anda akan dicap bodoh di masa Pitagoras.
Itu belum separah Euclid, sang pemikir bidang geometri. Dengan pengenalannya terhadap ilmu geometri membuat orang-orang di Yunani baru dianggap "terpelajar" jikalau memahami wacana geometri. Pernah Anda mendengar salah satu pernyataan populer dari Plato yang berbunyi "Medeis ageometritos eisito mou ten stegen" alias "Let no one ignorant of geometry come under my roof". Apa artinya itu? Yah, kalau Anda tidak mengerti geometri maka Anda dilarang berkunjung ke rumah Plato.
Bayangkan saja, seorang pemikir ternama bisa menyebut bahwa beliau tidak mau mendapatkan orang-orang yang tidak mengetahui geometri (turunan matematika juga, kan?) untuk berkunjung ke rumahnya. Itu artinya, geometri menjadi ukuran peradaban di kala itu. Anda bahkan tidak mampu mempunyai sahabat bila tidak memahami matematika!
Selanjutnya, kenal dengan nama Isaac Newton? Yah, bapak kalkulus dunia dan profesor matematika. Dalam filsafat alam, Isaac Newton mengenalkan bahasa matematika sebagai bahasa standarnya. Lalu, sejak abad itu ilmu sosial juga belum dianggap selaku suatu "ilmu" alasannya studi sosial, bukan ilmu sosial. Alasan khususnya ialah "tidak matematis". Sampai kesannya nama August Comte yang "menenteng" matematika dalam rumpun ilmu sosial yang pada alhasil membuat sosiologi menjadi suatu ilmu. Matematika yang dimasukkan ke dalam ilmu psikis oleh Edmund Wundt juga menciptakan Psikologi menjadi suatu "ilmu".
Kemudian, diikuti oleh ilmu-ilmu yang lain, tergolong seni, bahkan agama sekalipun. Sebab, matematika adalah "penerapan di level taktis" alasannya jikalau dilevel ideologi, matematika adalah filsafat.
Sumber https://www.pojokreview.com/
EmoticonEmoticon