PojokReview - Sebuah artikel di Insideindonesia.org ditulis oleh Dr Rosalind Helwett bertajuk "The Forgotten Killings" (Pembunuhan yang dilupakan) merujuk ke suatu sejarah kelam bangsa ini yang tak banyak diabadikan di buku sejarah. Ironisnya, postingan tersebut justru terbit berdekatan dengan peringatan hari Pahlawan tahun lalu.
Periode tahun 1945 sampai 1946, yang dalam catatan sejarah disebut "bersiap-tijd" alias Masa Bersiap ditulis oleh PersMercusuar pada tahun 2019 lalu selaku fase berantakan dalam revolusi Indonesia. Sebuah fase yang jauh lebih menyeramkan dari bencana 1998. Saat itu, massa pro-republik melakukan pembantaian, pembunuhan, penjarahan, pemerkosaan, dan tindak pidana yang lain ke orang asing.
Tidak hanya orang gila, seperti Eropa dan peranakan (blasteran), tetapi etnis Tionghoa juga menerima perlakuan yang serupa. Bahkan, etnis orisinil Indonesia seperti Minahasa, Ambon, Melayu, dan sebagainya yang dianggap pro-Belanda juga tak bisa menghindar dari peristiwa ini.
Seperti kisah salah satu penyair kenamaan tanah air, Amir Hamzah yang diangkat ke panggung teater sebelum pandemi lalu. Amir Hamzah adalah golongan aristokrat yang menjadi korban amukan massa pro-republik sehingga meninggal dalam kondisi menggenaskan.
Memang benar mirip yang dibilang banyak orang, bahwa sejarah selalu ditulis oleh pemenang. Dan ketika itu, Indonesia yang sukses keluar sebagai pemenang, merdeka dari "cengkraman" penjajah, dan berdiri sendiri sebagai negara. Maka sejarah yang dituliskan oleh "pihak pemenang" tentunya bergerak dalam kerangka itu.
Apa yang terjadi di tahun 1945 - 1946? Selain agresi heroik perobekan bendera Belanda di hotel Surabaya, termasuk perang Surabaya yang mencengangkan dunia? Inggris, Amerika, dan Belanda selaku jawara Perang Dunia ke-2 mesti habis-habisan mengeluarkan senjata dan tenaga untuk meredam perlawanan di Surabaya. Belum lagi di Medan, Bandung, Jakarta, Yogyakarta, dan sekitarnya yang juga menguras tenaga. Agresi Militer yang dikerjakan Belanda dua kali sesudah kala itu menawarkan pada dunia, siapa tokoh antagonis dalam dongeng ini.
Namun ada yang terlupakan. Bahwa orang-orang Belanda dan Inggris yang ada di Indonesia tidak hanya tentara yang menenteng senjata. Ada juga orang-orang yang tiba selaku pegawai. Juga ada orang Indonesia yang dinikahi orang Eropa, atau orang Indonesia yang semenjak kecil telah diadopsi oleh orang Eropa. Juga ada orang Indonesia yang bekerja sebagai "pegawai negeri sipil" di masa kolonial. Ditambah dengan kaum bangsawan yang dianggap "hidup hening" di era kolonial, serta keturunan Tionghoa yang juga diketahui selaku para pedagang.
Rata-rata, mereka yang menjadi korban di fase semrawut tersebut. Lebih malangnya, sebagian dari mereka ialah wanita dan belum dewasa yang tidak memegang senjata apapun. Mereka (para korban) terlihat selaku kelompok borjuis, terserah apakah mereka pro-Belanda atau tidak. Lebih sialnya, sejumlah catatan sejarah menyebut ada juga belum dewasa kecil yang menjadi korban keganasan massa.
Para tahanan perang juga dihabisi, begitu pula none Belanda yang punya rumah indah. Mereka dihabisi, dan harta kekayaannya diambil untuk membayar siapapun yang mengotori tangan mereka dengan darah. Salah satunya terjadi di Pacet, antara Malang dan Surabaya. Di daerah itu, sejumlah penyiksaan rampung dengan ajal yang tragis bagi para tahanan perang, keturunan Belanda, dan orang-orang yang dianggap pro-Belanda.
Intelijen Belanda yang menghimpun data semenjak tahun 1947 hingga 1948 menyebutkan ada ribuan nyawa yang terbang dalam peristiwa itu. Sedangkan di Surabaya, tepatnya di Komplek Balai Pemuda (dulunya berjulukan Simpang Club), ratusan orang Eropa, keturunan, atau orang Indonesia yang dianggap pro-Belanda meninggal dalam keadaan menggenaskan.
Namun, mirip yang ditulis oleh Rosalind Hewett, bahwa rentetan pembunuhan di periode "Masa Bersiap" sangat susah ditemukan literaturnya, apalagi di Indonesia. Maka, dongeng kelam tersebut perlahan tertutup dan terlewatkan. Meski satu persatu terungkap, tetapi tak juga mampu mengungkap insiden seutuhnya.
Ada dua hal penyebabnya. Pertama, di Indonesia, catatan sejarah wacana insiden tersebut seperti sengaja dihilangkan dengan banyak sekali alasan. Kedua, cukup tabu membicarakan hal ini, karena "otak" dari kejadian-kejadian ini di setiap kawasan rata-rata diketahui selaku "Pahlawan Nasional".
Meski demikian, tentunya fakta sejarah harus tetap dikenali tanpa dikaburkan apalagi dilupakan. Romantisme perjuangan bangsa ini juga akan tetap agung, meski kita mengenali ada harga yang mahal di baliknya.
Sumber https://www.pojokreview.com/
EmoticonEmoticon