Minggu, 13 Desember 2020

Sebenarnya Pancasila Merekomendasikan Sofokrasi, Bukan Demokrasi

Ini alasan Socrates tidak menyukai demokrasi)


Demokrasi mengaburkan makna musyawarah


Jadinya, sesungguhnya apa yang diinginkan oleh Pancasila yakni "Sofokrasi" (Sofo/sophia + kratos) yang memiliki arti kedaulatan yang berdasar pada akal. Kebijaksanaan bukan berasal dari "one man one vote" tapi dari musyarawarah menciptakan mufakat.


Kata "demokrasi" mau tidak inginmengaburkan esensi dari kata "musyawarah", seakan demokrasi dan musyawarah yakni kedua hal yang sama. Coba kita lihat prinsip demokrasi konsitusional Indonesia berlandas Pancasila dan UUD 1945, maka dua di antaranya yaitu "demokrasi dengan kecerdasan" dan "demokrasi yang berkedaulatan rakyat".


Demokrasi dengan kecerdasan bermakna pelaksanaan demokrasi menuntut kecerdasan baik emosional, rasional, akal, dan rohani. Sedangkan demokrasi yang berkedaulatan rakyat, memiliki arti kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat yang dalam batas tertentu dipercayakan pada wakil rakyat (legislatif).


Demokrasi, meski diciptakan di Yunani, namun lahir sebenar-benarnya dikala Revolusi Prancis. Dan presiden pertama RI, juga "founding father" bangsa ini, sekaligus merumuskan Pancasila menolak sila ke-4 itu sama dengan demokrasi, terutama demokrasi yang lahir saat revolusi Prancis tersebut. Hanya saja, Bung Karno masih memakai ungkapan "demokrasi" untuk menyebut konsepsi musyawarah mufakat tersebut. Itu mungkin yang menciptakan kata demokrasi usang-kelamaan mengaburkan makna dan esensi dari musyawarah.


Hasilnya mirip dikala ini, bermusyawarah memiliki arti berdemokrasi. Satu kata yang mengkudeta makna kata lainnya. Padahal musyawarah semenjak dulu menjadi nadi bangsa kita. Para perumus Pancasila menyadari hal tersebut, sehingga tidak menyebut "demokrasi" dalam Pancasila, tetapi musyawarah mufakat.


Para perumus Pancasila menolak disebut demokrasi


Bisa dikatakan bahwa, para perumus Pancasila, baik itu Moh Yamin, Soepomo, sampai Bung Karno, tidak ada satupun yang menjajal "mengadopsi" demokrasi dari barat itu. Mereka merumuskan Pancasila dari jati diri bangsa Indonesia sendiri. Dan risikonya yaitu "musyawarah mufakat", bukan demokrasi.


Alhasil, sebab ingin menerapkan demokrasi, tetapi sekaligus melakukan ideologi Pancasila, maka alhasil adalah serba tanggung. Index Demokrasi (indeks yang disusun oleh Economist Intelligence Unit) mencoba mengukur kondisi demokrasi di 167 negara, dan akhirnya memasukkan Indonesia dalam klasifikasi negara yang "tidak tepat menerapkan demokrasi".


Kenapa tidak tepat? Yah, sebab sesungguhnya bukan demokrasi yang dikehendaki Pancasila. Tapi musyawarah, alias urun rembuk. Musyawarah justru lebih mirip dengan berunding, membahas satu dilema untuk mendapatkan satu keputusan.


Apa saja ciri-ciri musyawarah?


Dalam musyawarah, orang yang lebih renta, lebih terlatih, lebih pintar, lebih dihormati, dan lebih punya kompetensi akan lebih didengarkan. Di desa misalnya, masyarakat tidak akan memulai pembahasan atau perundingan apabila tokoh masyarakat, tokoh intelektual, kepala desa, tokoh agama, dan tokoh etika belum ada di lokasi musyawarah. Tapi, ada satu orang yang bukan termasuk di antara "tokoh-tokoh" itu tapi tidak datang, justru tidak begitu dipermasalahkan.


Musyawarah akan menimbang-nimbang banyak hal, dan bersumber dari pikiran yang luhur. Ditambah lagi, hasil keputusan akan mampu diterima dengan nalar sehat. Apabila bertemu dua atau lebih ide yang saling berbenturan kemudian tak juga ada titik temu, maka jalan terakhir dikala buntu mirip itu yaitu pemungutan bunyi.


Apakah hal tersebut terdengar seperti demokrasi? Sepertinya tidak, meski seperti.


Musyawarah ditujukan untuk mencari kebenaran yang paling bijaksana. Juga bisa menyatukan pendapat yang berlainan, dan memiliki nilai keadilan. Apapun hasil dari musyawarah akan dijalankan dengan penuh tanggung jawab. 


Musyawarah justru sangat berdasar pada sila ke-4. Untuk membedakan lagi mana demokrasi dan mana musyawarah, kita lihat analogi berikut:


Kasusnya yakni, Badu ingin kuliah di jurusan seni, sedangkan ayahnya ingin beliau kuliah di kedokteran, dan ibunya ingin ia mendaftar menjadi polisi. Badu punya seorang adik yang kini duduk di kelas 2 SMA. Maka keluarga tersebut merasa penting untuk menyelesaikan duduk perkara tersebut, sebab hal itu tidak hanya menyangkut era depan Badu, tetapi juga abad depan keluarga.


Pemecahan duduk perkara dengan cara demokrasi.


Keempat orang tersebut, baik Badu, ayahnya, ibunya, dan adiknya yang kelas 2 SMA memiliki suara yang serupa. Kemudian dilakukan pengumpulan bunyi untuk memilih apa yang mesti dilakukan Badu.


Hasil pemilihan lazim, Badu memilih kuliah jurusan seni, ayahnya menentukan Badu kuliah kedokteran, ibunya menentukan Badu mendaftar polisi, dan adik Badu yang tidak tahu apa-apa dan tak ingin terkena dilema, selama ini lebih dekat dengan ibunya. Kaprikornus, dia menentukan apa yang diseleksi ibunya, ialah Badu mendaftar jadi polisi.


Maka, berkat penyeleksian biasa tersebut, Badu mau tidak mau harus mendaftar menjadi polisi, meski itu mungkin bukan impiannya, serta bukan bakatnya.


Pemecahan masalah dengan cara musyawarah.


Badu, dengan ayahnya serta ibunya berunding. Badu memaparkan argumentasi kenapa ia mesti kuliah jurusan seni. Ayahnya juga akan memaparkan kuliah kedokteran mempunyai harapan yang cerah untuk kurun depan. Ibunya akan memaparkan Badu lebih baik pribadi melakukan pekerjaan dan punya status sosial yang tinggi di penduduk bila lolos menjadi anggota Polisi.


Bagaimana dengan adiknya? Adiknya boleh ikut diskusi, boleh juga tidak. Tapi, Badu ingin adiknya memberitahu bagaimana sekolah Badu begitu menghargai dan mengapresiasi bakat Badu di bidang musik. Badu bahkan akan dibantu untuk mendapatkan beasiswa sekolah musik di luar negeri, jika diperlukan. 


Hasil dari diskusi, Badu mampu meyakinkan ayah dan ibunya bahwa beliau akan sekolah "gratis" dan tetap mengembangkan bakatnya sehingga bisa membanggakan keluarga.


Hasil akibatnya yakni, Badu kuliah di kampus seni jurusan musik.


Dari dua analogi di atas, kita bisa melihat mana yang musyawarah dan mana yang "demokrasi" dan sedang diterapkan di Indonesia saat ini.


Intinya, musyawarah itu bukan demokrasi. Demokrasi juga bukan berarti musyawarah. Keduanya seperti, seperti apel dan tomat, tapi terang dua buah yang berlainan. Apakah sebuah hari demokrasi akan menjadi "sofokrasi" atau apapunlah namanya. Entahlah, supaya saja.


Sumber https://www.pojokreview.com/


EmoticonEmoticon