Senin, 04 Januari 2021

Berkaca Dari Irene Sukandar Dan Pentingnya Para Master Turun Gunung

Seorang yang Cerdas Hanya Tahu Satu atau Dua Bidang Tapi Sampai Detail-Detailnya. Di artikel tersebut dibilang bahwa, tidak ada salahnya sama sekali kalau seorang doktor atau malah profesor di bidang sastra, tapi tidak tahu apa-apa perihal teori relativitasnya Einstein.


Juga, tidak persoalan sama sekali seorang doktor atau profesor Fisika misalnya, tapi tidak tahu apa-apa wacana metode keaktorannya Grotovsky. Namun di Indonesia, ada banyak seorang yang mencar ilmu atau bekerja di bidang A, namun terlalu banyak bicara di bidang B. Hasilnya, justru terlihat tolol, bukan?


Bukan Master Pertama yang "Turun Gunung"


Selain catur, banyak bidang lain yang punya banyak pakar. Bidang lain tersebut juga sungguh sering direcoki oleh yang bukan pakar. Seseorang yang tidak tahu apa-apa tentang dunia kesehatan contohnya, datang-tiba bicara tentang obat-obatan. Seseorang yang tidak tahu apa-apa wacana virus, bicara ihwal sumber Corona. Darimana mereka mendapatkan sumber?


Yah, satu atau dua artikel di Internet menciptakan mereka merasa pakar. Tidak cuma itu, bidang-bidang lain mirip agama, seni, filsafat, sains, dan sebagainya juga tidak luput dari para "komentator" ini.


Memasak contohnya, yang nyaris semua ibu-ibu merasa bisa mengolah masakan selevel chef bintang lima. Bisa memasak mungkin hal yang lumrah, namun bisa mengolah masakan selevel chef bintang lima itu bermakna hasil dari keteguhan mencar ilmu, kalau perlu sekolah atau kuliah. Kita lihat bagaimana para "master" chef di Indonesia "turun gunung" melalui program di televisi. Hasilnya, mereka memasang patokan yang baru bagi "kaum awam" perihal "memasak".


Karena itu, berdasarkan Pojokreview, tidak ada salahnya para master turun gunung dan mendekati orang-orang awam. Tujuannya tidak hanya sekedar publikasi, penawaran khusus, dan maksud elementer lain. Tapi, menaikkan "kelas" mereka memiliki arti memperlihatkan pentingnya ilmu wawasan, pentingnya mencar ilmu dan sekolah. Maka, angka putus sekolah di Indonesia bisa ditekan, serta angka pengangguran di Indonesia juga bisa dikurangi.


Berapa persen di antara puluhan juta pengangguran di Indonesia itu bantu-membantu mungkin berbakat bermain sepakbola? Atau berbakat di panggung teater? Atau berbakat di bidang yang lain? Maka mereka memutuskan untuk mempelajari bidang yang mereka kuasai dengan lebih intens, hingga sampai pula ke level "master". 


Kemudian, mampu membuka jalan sendiri, lalu membuka usaha sendiri. Tidak mengejar-ngejar keseragaman pekerjaan karena stratifikasi sosial semu yang diciptakan penduduk . Misalnya, bekerja yang keren itu harus pakai dasi, atau seragam tertentu. 


Pun menjadi blogger tetap saja mampu keren, bila ditekuni dengan sungguh-sungguh, bukan?


Sumber https://www.pojokreview.com/


EmoticonEmoticon