Informasi Buku:
Judul : Naskah Drama Pelukis & Wanita
Penulis : Adhyra Pratama Irianto
Pengantar: Lusi Handayani, Irwan Jamal, Iswadi Pratama, Ari Pahala Hutabarat
Penerbit : Andhra Grafika
Cetakan pertama, Januari 2021
129 halaman
***
Buku karya Adhyra Pratama Irianto ini mendatangkan sebuah kenyataan absurd dalam kehidupan tokoh-tokohnya, ialah seorang wanita yang ingin dilukis sehingga beliau mencari galeri pelukis terbaik. Wanita tampaknya tidak sukses menerima dirinya dilukis oleh sang pelukis alasannya tangan kanan pelukis cuma bolak-balik tanpa ada kepastian untuk melukis sang wanita.
Dalam tiga babak, kehidupan tokoh "perempuan" terus berputar pada siklus yang serupa, beliau tiba ke suatu galeri meminta untuk dilukis dan ajun pelukis membawakan cat yang salah, tangan kanan pelukis kembali mencari cat yang benar namun kembali lagi dengan cat yang salah lagi sehingga pelukis alhasil mencari cat itu sendiri. Wanita terpaksa harus kembali menanti, karena terlalu usang asisten pelukis pergi mencari pelukis, dan pelukis yang hingga dengan membawa cat yang benar mencari asistennya karena alat melukis ada pada ajudan.
Jadilah pelukis dan ajun itu saling mencari satu sampai lain sampai perempuan muak menunggu, ia murka dan pergi mencari galeri lain biar dirinya dilukis. Namun, sebagaimana kegiatan rutin kehidupan yang terus berulang dan tercermin dalam drama tersebut, tokoh “perempuan” terus kembali pada galeri yang serupa, menanti dan terus menanti, lalu muak, kemudian kembali lagi dan seperti itulah tanpa kejelasan, tanpa kepastian apakah nanti beliau benar-benar akan dilukis atau tidak.
Setelah membaca buku ini, saya menangkap bahwa buku naskah drama “Pelukis & Wanita” mengusung aliran para absurdis, semacam Albert Camus dan Samuel Beckett. Pemikiran yang begitu fenomenal di masa 1960-an, di mana -sejauh tangkapan saya- bahwa pada hakikatnya tidak ada makna di dunia ini selain yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Termasuk di dalam kenihilan makna adalah amoralitas atau ketidakadilan- itu (utamanya ketidakadilan dan dilema keberadaan) terlihat pada dialog pelukis dan perempuan :
WANITA
Bisa kamu jelaskan kenapa aku tak akan pernah paham??
PELUKIS
Karena kau ialah objek lukisan. Kau bukan pelukis.
WANITA
Kenapa saya tidak bisa menjadi pelukis?
PELUKIS
Karena kau ialah objek lukisan! Itu tak mampu kamu pungkiri dan elak lagi. Selamanya kamu tidak akan bisa menjadi pelukis. Kau cuma duduk hening, melihat kuas-kuas menari, cat-cat menitik pelan di atas kanvas..
Ketidakadilan itu juga tampakpada obrolan yang menegaskan kasta antara pelukis, birokratnya pelukis, para kriktikus dan kurator, dan yang terakhir orang awam atau hambanya seni yang ialah kasta dari tokoh “perempuan” yang ingin dirinya dilukis, sehingga wanitapun mirip kehilangan eksistensinya.
Absurdisme yang didasarkan pada iktikad bahwa perjuangan manusia untuk mencari makna kehidupan dan tetap saja rampung dengan kegagalan dan kecenderungan manusia untuk terus memburu kebahagiaan kemudian menerima makna dari kehidupan itu sebagai sesuatu yang absurd direfleksikan dalam naskah drama Pelukis dan Wanita lewat alur cerita dan tokoh-tokohnya. Naskah inipun menyadarkan kita bahwa dalam kehidupan sehari-hari, kita telah mengalami ke-absurd-an tersebut, fase berulang, kegiatan rutin sehari-hari yang berulang, mengejar harapan, memburu kebahagiaan untuk mendapatkan arti kehidupan yang pada alhasil juga kita cuma akan menemui akhir hayat.
Namun, meski pada kenyataannya apa yang dialami wanita maupun pelukis dan asistennya dalam naskah drama tersebut sama sekali memuakkan, terdapat pula kalimat-kalimat yang menyentil pembaca (di samping dialog-dialog serius) seperti “efesiensi waktu yang bukan negosiasi”, juga pilihan dialog puitik saat pelukis ingin menggambarkan jenis warna “warna yang aku perlukan yakni paduan dari intisari purnama, yang berpadu dengan bias-bias pelangi, serta sedikit sentuhan dari kemilau seja di tepi pantai akhir demam isu kemarau”, sehingga membangkitkan imaji dan kesan “indah” dalam naskah tersebut.
Dari berita yang aku dapatkan di buku tersebut “Pelukis & Wanita” sendiri telah beberapa kali dipentaskan oleh Teater Senyawa yang ialah sanggar teater dari penulis naskah drama ini sendiri. Juga dipentaskan oleh beberapa kalangan Teater Indonesia lainnya. Dalam pementasannya, penokohan dari tokoh pelukis, perempuan dan asisten pelukis yang mengeksekusi obrolan-dialog dalam naskah tersebut menimbulkan “Pelukis & Wanita” tetap asyik bahkan mengajak kita menertawakan ketiga tokohnya, meski sehabis membaca dan merenunginya, cerita ini mengusung rasa depresi, memuakkan, letih akan keterikatan.
“Pelukis & Wanita” memberikan memori yang bahu-membahu tidak (ingin) kita miliki melalui tokoh wanita yang terus menunggu, berharap, kehidupannya terus berulang. Padahal, tanpa kita sadari kita sendiri mengalaminya dalam versi yang berlainan.
Hal itu menyadarkan kita dan menyebabkan naskah drama tersebut relateable dikala dibaca maupun dikala menonton pementasannya. Penulis buku ini, Adhyra Irianto tampaknya juga sudah menciptakan kita mengalami keadaan Vellichor; hanyut dalam tulisannya, hingga kita terus berharap bahwa tokoh perempuan akan betul-betul dilukis dalam drama tiga babak itu, padahal alhasil kita gagal mendapatkan "ending" cerita yang bahagia dan telah mengalami absurdisme itu sendiri.
EmoticonEmoticon