Sabtu, 11 April 2020

Sejarah Wali Songo, Nama Dan Seni Manajemen Dakwahnya

Wali Songo sungguh diketahui selaku penyebar agama Islam di tanah Jawa pada periode ke-14 Masehi. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, ialah Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Wali sanga yakni golongan syiar dakwah Islam yang kerap juga disebut dengan Waliyullah atau wakil Allah.  Pengertian Wali Songo Songo atau sanga berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti "sembilan". Sehingga wali songo bermakna wali sembilan. Para wali ini juga mempunyai gelar “sunan”. Sunan berasal dari kata Susuhunan yang artinya “yang dijunjung tinggi” atau panutan penduduk lokal. Ada juga yang menyampaikan Sunan berasal dari kata Suhu Nan, artinya Guru Besar atau orang yang cerdik tinggi. Teori Asal seruan Wali Songo 1. Teori Hadramaut (Yaman) Menurut teori ini, para wali songo berasal dari Hadramaut, Yaman. Walaupun masih ada pendapat yang menyebut wali songo ialah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau daerah lainnya, tetapi sepertinya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh dari pada sebagai asal-muasal mereka yang sebagian besar ialah kaum Sayyid atau Syarif (keturunan Nabi).  Muhammad al Baqir dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, cukup mendukung bahwa wali songo yaitu keturunan Hadramaut (Yaman). Selain itu, L.W.C Van Den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang menyelenggarakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout Et Les Colonies Arabes Dans L’archipel Indien (1886) mengatakan: ”Adapun hasil yang nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari para Sayyid atau Syarif.  Dengan mediator mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku­suku lain Hadramaut (yang bukan kelompok Sayyid atau Syarif), namun mereka ini tidak meninggalkan imbas sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid atau Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW). Selain itu, Van Den Berg juga menulis dalam buku yang serupa (hal 192-­204): Pada periode ke­15, di Jawa telah terdapat masyarakatbangsa Arab atau keturunannya, adalah setelah abad kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang­orang Arab bercampur dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan­jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atas.  Rupanya pembesar­-pembesar Hindu di kepulauan Hindia sudah terpengaruh oleh sifat­-sifat keterampilan Arab, oleh alasannya adalah sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang­-orang Arab Hadramaut menjinjing terhadap orang-­orang Hindu asumsi baru yang diteruskan oleh peranakan­peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya. Pernyataan Van Den Berg secara lebih spesifik menyebut masa ke-15 sebagai periode kedatangan atau kelahiran sebagian besar wali songo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari masa ke-18 yang merupakan dikala kedatangan gelombang berikutnya, ialah kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al-Habsyi, Al-Hadad, Alaydrus, Al-Attas, Al-Jufri, Syihab, Syahab, dan banyak marga Hadramaut lainnya.  Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama mirip secara umum dikuasai muslim di Sri langka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Hal ini mampu dibandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.  Pengamalan madzhab Syafi’i dengan corak tasawuf dan menghormati Ahlul Bait (mirip menyelenggarakan perayaan Maulid Nabi, membaca Diba’ & Barzanji, bermacam-macam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan yang lain) cuma terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia.  Kitab fiqh madzhab Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin al-Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pertimbangan -pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan adanya kesamaan sumber yaitu Hadramaut, sebab Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang memadukan fiqh Syafi’i dengan pengamalan tasawuf dan penghormatan terhadap Ahlul Bait (keturunan Nabi).  Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan wali songo mirip Raden Fatah dan Pati Unus sama-sama memakai gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga ialah gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada masa ke-14, ialah cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar Hadramaut masa ke-13 Masehi.  Keluarga besar ini populer sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan memiliki putra-putra dan cucu-cucu yang banyak memakai nama Akbar, mirip Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nur Alam Akbar dan banyak yang lain. 2. Teori Keturunan China (Hui)  Sejarahwan Slamet Muljana mengundang pembahasan kontroversi dalam buku: Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa wali songo yakni keturunan Tionghoa Muslim. Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa wali songo yakni keturunan Arab-Indonesia.  Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut. Referensi-rujukan yang menyatakan bahwa wali songo berasal dari keturunan Tionghoa sampai saat ini masih menjadi hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya mampu diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk terhadap goresan pena Mangaraja Onggang Parlindungan, yang lalu merujuk kepada seseorang yang berjulukan Resident Poortman.  Namun, Resident Poortman hingga kini belum bisa dikenali identitasnya serta kredibilitasnya selaku sejarahwan, misalnya kalau daripada Snouck Hurgronje dan L.W.C. Van Den Berg.  Sejarahwan Belanda kurun sekarang yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yakni Martin Van Bruinessen, bahkan tak pernah sekali pun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat rincian dan banyak dijadikan rujukan. Salah satu ulasan atas goresan pena H.J. De Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in The 15th and 16th Centuries yakni yang ditulis oleh Russel Jones.  Di sana, dia meragukan pula perihal eksistensi seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, sebaiknya dapat dengan gampang dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan. Era wali songo yaitu kala berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara dan digantikan dengan kebudayaan Islam.  Mereka ialah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sungguh besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara pribadi, membuat para wali songo ini lebih banyak disebut ketimbang tokoh lainnya.  Pendapat lain menyampaikan bahwa wali songo ialah suatu majelis dakwah yang pertama kali dibuat oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Wali songo yaitu pembaharu penduduk pada masanya. Pengaruh mereka dirasakan dalam bermacam-macam bentuk manifestasi peradaban gres masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga kepemerintahan.  Nama-Nama Wali Songo 1. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad SAW. Ia disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo. Ia diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Dalam Babad Tanah Jawi versi Meinsma disebutkan perumpamaan Asmarakandi, mengikuti pengucapan pengecap orang Jawa terhadap kata As­Samarqandy.  Dalam kisah rakyat, ada yang menyebutnya Kakek Bantal. Maulana Malik Ibrahim lazimnya dianggap selaku wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan penduduk Jawa yang tersisihkan di selesai kekuasaan Majapahit.  Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang kerabat. Ia membangun pondokan kawasan mencar ilmu agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur. Jauh sebelum Maulana Malik Ibrahim tiba ke Pulau Jawa bahu-membahu sudah ada penduduk Islam di kawasan-kawasan pantai utara, termasuk di desa Leran.  Hal itu mampu dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriyah atau pada tahun 1082 M. Jadi sebelum zaman Wali Songo, Islam telah ada di pulau Jawa, yakni tempat Jepara dan Leran. Tetapi Islam pada kurun itu masih belum berkembang secara besar-besaran. Maulana Malik Ibrahim yang lebih diketahui masyarakatsetempat sebagai Kakek Bantal itu diperkirakan datang ke Gresik pada tahun 1404 M.  Beliau berdakwah di Gresik hingga akhir wafatnya ialah pada tahun 1419 M. Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur yakni Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagian rakyat Gresik sudah ada yang bermacam-macam Islam, tetapi masih banyak yang beragama Hindu atau bahkan tidak beragama sama sekali.  Dalam Dakwah, Kakek Bantal menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan anutan Al-Qur’an, adalah dengan hikmah (kecerdikan) dan isyarat -isyarat yang bagus serta obrolan dengan cara yang bagus. Dari aksara-karakter Arab yang terdapat pada watu nisannya, dapat dimengerti bahwa Maulana Malik Ibrahim yaitu si Kakek Bantal, penolong fakir miskin, yang dihormati para pangeran dan para sultan, jago tata negara yang ulung.  Hal itu menunjukkan betapa jago perjuangan ia kepada masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat bawah, ialah kaum fakir miskin. Kalimat yang tertulis dimakamnya adalah selaku berikut: “inilah makam Almarhum Almaghfur, yang berharap rahmat Tuhan, pujian para Pangeran, para Sultan dan para Menteri, penolong para fakir miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal.  Allah meliputinya dengan Rahmat­Nya dan Keridhaan­Nya, dan dimasukkan ke dalam Surga. Telah wafat pada hari Senin 12 Rabiul Awal tahun 822 H.” Menurut literatur yang ada, dia juga hebat pertanian dan andal pengobatan. Sejak beliau berada di Gresik, hasil pertanian rakyat Gresik berkembangtajam. Orang-orang sakit banyak yang disembuhkannya dengan daun-daunan tertentu.  Sifatnya yang lemah lembut, welas asih, dan ramah tamah kepada siapa saja, baik sesama muslim atau non-muslim menjadikannya terkenal sebagai tokoh penduduk yang sungguh disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang bagus itulah yang menarik hati masyarakatlokal sehingga mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut ia yang setia.  Sebagai contoh, beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam, beliau tidak menerangkan Islam secara rumit. Kaum awam tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah supaya sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih banyak lagi.  Sesudah itu mereka diusulkan bersyukur kepada yang menawarkan rezeki yakni Allah SWT. Dan untuk menyiapkan kader umat yang nantinya dapat meneruskan. usaha berbagi agama Islam ke seluruh tanah Jawa dan seluruh Nusantara, maka beliau lalu mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam, kawasan medidik dan menggembelng para santri selaku calon kiyai. Tradisi tersebut tetap berlangsung hingga sekarang, para ulama menggodok calon mubaligh di Pesantren yang diasuhnya. Bila orang bertanya suatu duduk perkara agama kepada beliau, ia tidak menjawab dengan berbelit-belit melainkan dijawabnya dengan mudah dan gamblang sesuai pesan Nabi yang menganjurkan supaya agama disiarkan dengan mudah, tidak dipersulit, umat mesti dibuat gembira, tidak ditakut-takuti.  2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)  Sunan Ampel berjulukan orisinil Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad SAW. Menurut riwayat, ia yakni putra Ibrahim Zainuddin Al Akbar dari seorang putri Champa yang bernama Dewi Condrowulan binti Raja Champa Terakhir dari Dinasti Ming. Sunan Ampel umumnya dianggap selaku sesepuh oleh para wali lainnya.  Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban berjulukan Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Ajaran Raden Rahmat yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau tidak mau melaksanakan lima hal tercela yaitu:  Moh Maen atau tidak mau berjudi.  Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau bermabuk-mabukan.  Moh Maling atau tak inginmencuri.  Moh Madat atau tak maumengisap candu, ganja dan lain-lain.  Moh Madon atau tidak mau berzina/main perempuan yang bukan istrinya. Prabu Brawijaya sungguh bahagia atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menilai agama Islam itu adalah pedoman kecerdikan pekerti yang mulia. Maka saat Raden Rahmat lalu memberitahukan bahwa ajarannya ialah agama Islam, Prabu Brawijaya tidak marah, hanya saja dikala dia diajak memeluk agama Islam beliau tidak bersedia.  Ia ingin menjadi raja Budha terakhir di Majapahit. Raden Rahmat diperbolehkan memberitakan agama Islam di kawasan Surabaya bahkan di seluruh kawasan Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat dihentikan dipaksa. Raden Rahmat pun memberi klarifikasi bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Setelah Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat selaku sesepuh Wali Songo, selaku Mufti atau pemimpin agama Islam seTanah Jawa.  Beberapa murid dan putera Sunan Ampel sendiri menjadi anggota Wali Songo, mereka adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Beliau pula yang pertama kali membuat huruf pegon atau tulisan Arab berbunyi bahasa Jawa.  Dengan karakter pegon ini beliau dapat menyampaikan anutan-anutan Islam terhadap para muridnya. Hingga sekarang aksara pegon tetap digunakan sebagai materi pelajaran agama Islam di golongan pesantren. Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah Barat Mesjid Ampel. 3. Sunan Giri (Raden Paku)  Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1412 M. Ia memerintah kerajaan Giri kurang lebih 20 tahun. Sewaktu memerintah Giri Kedaton dia bergelar Prabu Satmata. Pengaruh Sunan Giri sangat besar terhadap kerajaan Islam di Jawa maupun di luar Jawa. Sebagai buktinya ialah adanya kebiasaan bahwa bila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah menerima pengakuan dari Sunan Giri.  Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama 200 tahun. Sesudah Sunan Giri meninggal dunia dia digantikan anak keturunannya, yakni:  1. Sunan Dalem 2. Sunan Sedomargi 3. Sunan Giri Prapen 4. Sunan Kawis Guwa 5. Panembahan Ageng Giri 6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana 7. Pangeran Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri) 8. Pengeran Singosari Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker.  Sesudah pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Meski demikian kharisma Sunan Giri sebagai ulama besar wali ternama tetap baka sepanjang periode. 4. Sunan Bonang (Makdum Ibrahim)  Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan ialah keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia yakni putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri Adipati Tuban berjulukan Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah lewat kesenian untuk mempesona penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dilantunkan hingga sekarang.  Pembaharuannya pada gamelan Jawa yaitu dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden di Belanda menyimpan suatu karya sastra bahasa Jawa berjudul Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya.  Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525. Ia dimakamkan di tempat Tuban, Jawa Timur. Dari aneka macam sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang berjulukan orisinil Maulana Makdum Ibrahim. Sunan Bonang ditugaskan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan tempat Sempadan Surabaya.  Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menawan simpati mereka, adalah berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang yaitu sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak timbulah bunyi yang merdu di telinga penduduk setempat.  Lebih-lebih jikalau Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu. Beliau ialah seorang wali yang memiliki cita rasa seni yang tinggi serta cakap dalam memainkan alat musik. Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang niscaya banyak masyarakatyang tiba ingin mendengarnya. Dan tak sedikit dari mereka yang ingin berguru membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh ketabahan.  Setelah rakyat sukses direbut simpatinya tinggal mengisikan saja anutan agama Islam kepada mereka. Beliau juga membuat karya sastra yang disebut Suluk. Hingga kini karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya sastra yang sangat andal, sarat keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.  Suluk berasal dari bahasa Arab “Salaka al­Thariiqa” artinya menempuh jalan(tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan jikalau di ungkapkan secara lazimdalam bentuk prosa disebut wirid. 5. Sunan Drajat (Raden Qosim) Sunan Drajat ialah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Nama orisinil Sunan Drajat yaitu Raden Qosim, ia putera Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan ialah adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang. Sunan Drajat populer dengan kegiatan sosialnya. dialah wali yang memelopori penyatuan belum dewasa yatim dan orang sakit.  Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat pada umumnya. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran penduduk , selaku pengamalan agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dilaksanakan secara mampu berdiri diatas kaki sendiri sebagai kawasan perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang Macapat Pangkur disebutkan selaku ciptaannya.  Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522. Raden Qosim yang telah mewarisi ilmu dari ayahnya lalu diperintah untuk berdakwah di sebelah barat Gresik. Dakwah pertama yang dilaksanakan oleh Raden Qasim yakni perjalanan menuju desa Jelag.  Di sana Raden Qosim mendirikan pesantren. Karena caranya memberitakan agama Islam yang unik maka banyak orang yang datang belajar kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim berdakwah menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 km, di sana dia mendirikan langgar atau surau untuk berdakwah. Tiga tahun kemudian secara mantap ia membangun tempat berdakwah yang strategis, ialah di tempat ketinggian yang disebut Dalem Duwur.  Di bukit yang disebut Dalem Duwur itulah yang kini dibangun Museum Sunan Drajad. Adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah barat Museum tersebut. Beliau memanfaatkan kesenian rakyat sebagai alat dakwah. Di museum yang terletak di sebelah timur makamnya terdapat seperangkat bekas gamelan Jawa, hal itu menawarkan betapa tinggi penghargaan Sunan Drajad pada kesenian Jawa.  Dalam catatan sejarah wali songo, Raden Qosim disebut selaku seorang wali yang hidupnya paling bersahaja, walau dalam masalah dunia ia juga rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan perilaku dia yang gemar memberi. Di kalangan rakyat jelata beliau bersifat lemah lembut dan sering membantu mereka yang menderita.  Di bidang kesenian, di samping terkenal selaku jago ukir dia juga orang yang pertama kali membuat Gending Pangkur. Hingga kini gending tersebut masih digemari rakyat Jawa. Nama Sunan Drajad disematkan kepada ia sebab dia bertempat tinggal di suatu bukit yang tinggi, seakan melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat atau derajat para ulama muqarrobin, ulama yang dekat dengan Allah SWT. 6. Sunan Kudus  Sunan Kudus ialah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Nama asli dia ialah Ja’far as-Shadiq. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad.  Sebagai seorang wali, Sunan Kudus mempunyai peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yakni selaku panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kelompok kaum penguasa dan priyayi Jawa.  Di antara yang pernah menjadi muridnya yakni Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang populer yakni Masjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya adonan Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550. Disamping berguru agama terhadap ayahnya sendiri sunan kudus juga belajar terhadap beberapa ulama terkenal. Di antaranya terhadap Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel. Nama orisinil Kiai Telingsing ini ialah Ling Sing, beliau yakni seorang ulama dari negeri China yang datang ke pulau Jawa bareng Laksamana Jenderal Cheng Hoo.  Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, Jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke pulau Jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam lewat perdagangan. Di Jawa, The Ling Sing cukup diundang dengan sebutan Telingsing, ia tinggal di suatu tempat subur yang terletak di antara sungai Tanggulangin dan sungai Juwana sebelah Timur.  Di sana ia bukan cuma mengajarkan Islam, melainkan juga mengajarkan terhadap penduduk seni ukir yang indah. Selanjutnya, Raden Ja’far Shadiq juga mencar ilmu terhadap Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun. 7. Sunan Kalijaga Sunan Kalijaga ialah putra Adipati Tuban yang berjulukan Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syaikh Subakir). Ia ialah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga memakai kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk.  Tembang suluk Ilir­Ilir dan Gundul­Gundul Pacul lazimnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syaikh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri. Sunan kali jaga berjulukan asli raden Said, ayahnya Tumenggung Wilatika walaupun beliau termasuk keturunan Ranggawale yang beragama Hindu, namun Tumenggung Wilatikta sendiri telah masuk agama Islam. Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama di Kadipaten Tuban.  Tetapi sebab menyaksikan keadaan sekitar atau lingkungan yang pertentangan dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak. Gelora jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat kadipaten Tuban yang kerap memeras masyarakatatau rakyat jelata. Rakyat yang pada waktu itu telah sangat menderita karena ekspresi dominan kemarau panjang, makin sengsara, mereka harus mengeluarkan uang pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.  Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi demam isu panen selanjutnya sudah disita para penarik pajak. Walau Raden Said putera seorang aristokrat, beliau lebih menyukai kehidupan bebas, yang tidak terikat adab istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan penduduk , dari yang paling bawah hingga yang paling atas.  Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban. Selanjutnya ia beberapa tahun belajar kepada Sunan Bonang, dengan meninggalkan ayah dan ibunya serta adikknya. Karena Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya, alhasil kedudukan Adipati Tuban diberikan terhadap cucunya sendiri yakni putera Dewi Rasawulan dan Empu Supa.  Raden Said meneruskan pengembaraannya berdakwah di Jawa Tengah sampai ke Jawa Barat. Beliau sangat terpelajar dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat diterima dan dianggap sebagai guru suci se-tanah Jawa. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu, Demak, selaku tempat tinggalnya yang terakhir hingga beliau wafat. 8. Sunan Muria (Raden Umar Said)  Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga, dari istrinya yang berjulukan Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Makara Sunan Muria yaitu adik ipar dari Sunan Kudus. Nama Sunan Muria yakni Raden Umar Said.  Seperti ayahnya, dalam berdakwah ia memakai cara halus, menyerupai mengail ikan tidak sampai menciptakan airnya keruh. Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekeliling Gunung Muria. Tempat tinggal dia di gunung Muria yang salah satu puncaknya berjulukan Colo.  Letaknya di sebelah utara kota Kudus. Sasaran dakwah ia ialah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliau satu-satunya wali yang tetap menjaga kesenian gamelan dan wayang selaku alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan dia pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti. 9. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)  Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah ialah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra Syaikh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, beliau masih keturunan keraton Pajajaran lewat Nyai Rara Santang, ialah anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati membuatkan Cirebon sebagai sentra dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya lalu menjadi Kesultanan Cirebon.  Anaknya yang berjulukan Maulana Hasanuddin, juga sukses mengembangkan kekuasaan dan membuatkan agama Islam di Banten, sehingga lalu menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten. Dalam usia yang begitu muda Syarif Hidayatullah ditinggal wafat oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir, tapi anak yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau.  Dia dan ibunya berencana pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu lalu diberikan kepada adiknya ialah Syarif Nurullah. Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru terhadap beberapa ulama besar di Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sungguh banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya di Jawa dia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.  Syarif Hidayatullah dan ibunya, Syarifah Muda’im, tiba ke negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 setelah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk memperbesar pengalaman. Kedua orang itu disambut bangga oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Saat itu, Syaikh Dzatul Kahfi, guru Pangeran Cakrabuana, sudah wafat dan dimakamkan di Pasembangan.  Dengan alasan semoga senantiasa akrab dengan makam gurunya, Syarifah Muda’im minta diizinkan tinggal di Pasambangan atau Gunung Jati. Syarifah Muda’im dan puteranya, Syarif Hidayatullah, lalu meneruskan usaha dakwah Syaikh Dzatul Kahfi. Sehingga kemudian hari Syarif Hidayatullah terkenal sebagai Sunan Gunung Jati.  Tibalah ketika yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya ialah Nyai Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Pada tahun 1479 karena usia lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan, yaitu orang yang dijunjung tinggi.  Mesjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunung Jati. Pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak, di antaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Fatah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga menerima penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal selaku lambang persatuan umat.  Selesai membangun masjid, diteruskan membangun jalan raya yang menhubungkan Cirebon dengan kawasan-daerah Kadipaten yang lain untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya mampu menahan diri atas pertumbuhan daerah Cirebon yang makin luas itu. Bahkan kawasan Pajajaran sendiri telah kian terhimpit.  Sekitar tahun 1479, Sunan Gunung Jati pergi ke daratan China dan tinggal di tempat Nan King. Di sana beliau diberi gelar Maulana Insan Kamil. Sunan Gunung Jati akhirnya menikah dengan Putri Ong Thien. Maka tidak heran jikalau kita berkunjung ke keraton Cirebon atau ke makam Sunan Gunung Jati kita akan menemukan ornamen-pernak-pernik yang berasal dari China. Pembagian Kerja Dewan Wali Songo  Mengenai pembagian kerja Dewan Wali Songo secara struktural, menurut hasil observasi Widji Saksono (1996: 97-100) ialah sebagai berikut:  Sunan Ampel: Mengurus susunan hukum syariat dan hukum perdata, utamanya berkenaan dengan persoalan nikah, talak, rujuk. Sunan Bonang: Merapikan hukum-aturan tergolong di dalamnya kaidah ilmu, selain menggubah lagu, nyanyian maupun gamelan Jawa. Sunan Gresik: Mengubah pola dan motif batik, lurik maupun peralatan berkuda.  Sunan Drajad: Mengurus hal ikhwal pembangunan rumah maupun berbagai ragam alat angkut. Sunan Muria: Mengurus hal ikhwal masalah kuliner (makanan) maupun alat tani dan barang pecah belah yang lain.  Sunan Gunung Jati: Selain bertugas memperbaiki doa, mantra bagi pengobatan batin, firasat, jampi-jampi bagi pengobatan lahir, dia juga mempunyai tugas untuk membuka hutan, mengorganisir transmigrasi atau membuka desa gres (ekspansi daerah). Sunan Giri: Bertugas menggubah perkiraan bulan, tahun, windu, kemudian menyusun dan membereskan segala perundang-ajakan kerajaan, termasuk problem protokolernya. Secara teknis Sunan Giri bertugas menciptakan kertas. Sunan Kalijaga: Bertugas mengorganisir bidang-bidang seni-budaya, misalkan menggubah dan membuat langgam maupun gending. Sunan Kudus: Bertanggungjawab atas perlengkapan persenjataan, perawatan materi besi dan emas, juga menciptakan peradilan dengan undang-undang syariat Strategi Dakwah Wali Songo  Islam sudah masuk ke kawasan Nusantara semenjak masa ke-7 Masehi, tetapi baru diminati oleh penduduk gila dari China, Arab dan Persia. Baru pada selesai kurun ke-15 sampai paruh kurun ke-16 ada sekumpulan tokoh penyebar Islam yang berjuluk Wali Songo sukses mengislamkan penduduk pribumi dengan tata cara dakwah yang khas, tanpa menyebabkan pergolakan dan penolakan.  Wali Songo berhasil menerangkan apa itu Islam dan seluk-beluknya dengan perangkat-perangkat budaya yang ada dan dapat dihayati oleh masyarakat. Islam “dibumikan” dengan prinsip bil nasihat wal mauidzatil hasanah wajadilhum billati hiya ahsan. Penjelasan mengenai Islam dibungkus secara sederhana yang dikaitkan dengan pengertian masyarakat setempat.  Misalnya Sunan Giri bertugas menjelaskan siklus perhitungan kalender dan pergantian hari. Sunan Gunung Jati mengajarkan tata cara berdoa, membaca mantra dan pengobatan. Sunan Drajat mengajarkan tata cara membangun rumah. Sunan Kudus mengajarkan cara menciptakan keris dan kerajinan emas.  Hal penting yang perlu dicatat dalam berhasil dakwah Wali Songo adalah corak sufistik dalam pemikiran-anutan mereka. Istilah “wali” itu sendiri sungguh lekat dengan kaum sufi atau kajian tasawuf. Corak sufistik dalam hal ini mampu diperbandingkan dengan corak fikih yang serba “hitam-putih”. Ajaran sufi lebih terbuka, luwes dan adaptif dalam menanggapi keberadaan fatwa di luar Islam.  Dakwah kultural semacam itu juga dilakukan oleh Sunan Drajat lewat tembang Jawa ciptaannya yang sampai sekarang masih disukai, adalah Tembang Pangkur. Sementara Sunan Bonang menghasilkan Suluk Sunan Bonang atau Primbon Sunan Bonang, yakni catatan-catatan pendidikan yang dituangkan dalam bentuk prosa. Setelah penduduk kesengsem, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu, shalat, dan sebagainya. Walisongo diketahui sangat peka mengikuti keadaan. Cara mereka menanamkan iktikad dan syariat Islam sangat mengamati kondisi masyarakat lokal misalnya kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu sesudah maut keluarga tidak diharamkan, namun sebaliknya acara tersebut diisi dengan pembacaan tahlil, doa, dan sedekah.  Demikian juga dengan penggunaan perumpamaan. Sunan Ampel yang dikenal sungguh hati-hati, contohnya, menyebut shalat dengan ‘sembahyang’ yang berasal dari kata sembah dan hyang. Dia juga menamai tempat ibadah dengan laga, yang seperti dengan kata sanggar. Bangunan masjid dan tabrak pun dibentuk bercorak Jawa dengan ciri khas genteng bertingkat-tingkat.  Bahkan, di antara bangunan masjid tersebut memadukan corak bangunan Hindu, mirip Masjid Kudus yang dilengkapi dengan menara dan gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-calon da’i, Walisongo mendirikan pesantren-pesantren, selaku sentra pendidikan agama Islam. Demikianlah pembahasan wacana sejarah Wali Songo, nama dan seni manajemen dakwahnya. Semoga berfaedah.
Sumber https://dadanby.blogspot.com


EmoticonEmoticon