Dalam khazanah keilmuan Islam kala klasik tradisional (salafiyyah) di Indonesia (tergolong di dunia), nama Syekh Nawawi al Bantani terperinci sudah tidak ajaib lagi. Beliau yaitu salah seorang putera terbaik bangsa Indonesia yang dalam sejarahnya memiliki dampak sangat besar di sentra studi keislaman yang dikala itu berada di Mekkah. Sebagai guru besar dalam aneka macam fan ilmu wawasan baik tafsir, fiqih (syariah), tauhid (kalam), lughah (bahasa), maupun adab (sastera), Syekh Nawawi terang memiliki kapasitas keilmuan yang tidak mampu dipandang sebelah mata oleh ulama pada masanya di seluruh dunia, paling tidak melalui murid-muridnya. Oleh risikonya, diantara sekian banyak nama putera terbaik Indonesia yang pernah menjadi “kampiun” di sentra-pusat keislaman dunia, nama Syekh Nawawi al Bantani terperinci ialah tokoh paling sentral. Dalam kaitan dengan konteks keindonesiaan, beliau diketahui sebagai Bapak Pesantren Indonesia. Meskipun ia bukanlah pendiri pesantren pertama, tidak pula mengelola pesantren yang cukup besar. Sebagian besar waktunya tidak dihabiskan ditanah air, tetapi tulisan-tulisannya yang berjumlah sekitar 115 buah kitab nyaris seluruhya diadopsi di pesantren-pesantren di Indonesia dan menjadi kurikulum utamanya hingga sekarang. Meski berada di Mekkah, lewat murid-muridnya yang berasal dari Indonesia seperti : Syekh Kholil waliyyullah (Bangkalan-Madura), KH. Asy’ari (Bawean; murid sekaligus anak menantu Syekh Nawawi dari puteri ia yang bernama Maryam binti Syekh Nawawi), dan Hadratus Syekh KH. M Hasyim Asy’ari (Tebuireng-Jombang-Jawa Timur, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama), ia aktif memantau kemajuan Islam dan politik di Indonesia yang ketika itu berada di bawah tekanan kolonial Belanda. Beliau juga banyak menyumbangkan ajaran untuk pertumbuhan bangsa Indonesia. Bahkan, di Mekkah, melalui suatu asosiasi yang disebut Koloni Jawa, dengan banyak sekali ikhtiar dan sumbangsih, ia aktif membina dan memberdayakan penduduk Indonesia di sana. Demikian besar imbas Syekh Nawawi al-Bantani, beberapa julukan kehormatan dari Saudi Arabia, Mesir, dan Suriah pun diberikan kepadanya, diantaranya adalah Sayyidu ‘Ulama’ al-Hijaz (Pemuka Ulama Hijaz), al-Mufti (Pemberi Fatwa), dan al-Faqih (Pakar Fikih/orang yang sungguh dalam ilmunya). Beliau juga cukup produktif dalam menuangkan anutan-pemikirannya dalam banyak cabang ilmu pengetahuan. Tidak mengherankan bila Syekh Nawawi al Bantani juga mendapat julukan “ Si Pena Emas ”. Sejarah Hidup Nawawi al Bantani lahir di kampung Tanara kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten pada tahun 1230 Hijriyah atau 1813 Masehi. Biografi Syekh Nawawi Al Bantani Kelahiran Nama lengkapnya adalah Muhamad Nawawi bin Umar bin Arabiy. Setelah menjadi ulama besar dan tersohor, beliau diketahui dengan nama Syekh Abu Abdil Mu’thi Muhammad Nawawi ibnu Umar ibnu ‘Arabiy at-Tanari al-Bantani al-Jawi, sebuah nama yang secara lengkap menyebut identitas diri dan daerah asalnya. Ayahnya, KH. Umar bin ‘Arabiy, yakni seorang ulama dan penghulu di Tanara. Sedangkan ibunya, Nyai Zubaidah adalah penduduk orisinil Tanara. Di era kecil, Nawawi al Bantani mengenyam pendidikan dari orang tuanya. Kemudian beliau belajar terhadap Kyai Sahal (Banten) dan KH. Yusuf (Purwakarta). Pada sekitar usia 15 tahun, beliau menunaikan ibadah haji ke Mekkkah dan bertempat tinggal di sana selama 3 tahun. Ia banyak menuntut ilmu wawasan dari beberapa syekh di akademi tinggi di Masjidil Haram, seperti Syekh Ahmad Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Selain itu, ia juga belajar di Madinah di bawah bimbingan Syekh Muhammad Khathib al-Hanbali. Pada sekitar tahun 1248 H (1831 M), ia kembali ke tanah kelahirannya di Tanara dan mengurus pesantren peninggalan orang tuanya. Namun karena keadaan politik kolonial yang tidak menguntungkan, maka selama tinggal selama 3 tahun di Tanara, beliau kembali ke Mekkah dan memperdalam lagi ilmu pengetahuannya terhadap Syekh Abdul Ghani Bima, Syekh Yusuf Sumulawaini, dan Syekh Abdul Hamid ad-Daghistani. Di Mekkah, dia tinggal di perkampungan Syi’b Ali. Selain berguru di Mekkah dan Madinah, ia juga pernah berguru wawasan di Mesir dan Syam (Siria). Dengan bekal ilmu pengetahuan yang ditekuninya selama sekitar 3 dekade, Nawawi al Bantani kemudian mengajar di Masjidil Haram, Mekkah. Murid-murid beliau berasal dari banyak sekali pelosok dunia, tergolong Indonesia. Seorang murid Syekh Nawawi al Bantani yang berjulukan Syekh Abdus Sattar ad Dahlawi menceritakan, bahwa semenjak belajar di Mekkah, Madinah, Mesir, dan Siria, dia (Syekh Nawawi al-Bantani) diketahui selaku seorang yang sungguh bersahaja, taqwa, zuhud, dan tawadlu’ di samping memiliki jiwa dan kepekaan sosial yang sungguh tinggi serta bertindak tegas dalam hal kebenaran. Beliau adalah seorang ulama bermadzhab Syafi’i yang dikenal sangat jago dalam ilmu tafsir, tauhid, fiqih, lughah, dan juga tasawuf. Pernah suatu saat ia diajak berkunjung untuk pertama kalinya ke Mesir oleh Syekh Abdul Karim bin Bukhari bin Ali (seorang tokoh tarekat Qadiriyah yang juga berasal dari Tanara-Banten). Meskipun dia (Syekh Nawawi) baru pertama kali ke Mesir, nama dia dikala itu telah sungguh populer dan amat disegani oleh ulama-ulama di sana lantaran goresan pena-tulisannya yang banyak dibaca dan dipelajari. Sesampainya di Mesir, para ulama Mesir mengajukan pertanyaan kepada Syekh Abdul Karim bin Bukhari bin Ali: “Kami telah banyak mendengar tentang seorang ulama asal Jawa di Mekkah yang bernama Syekh Muhammad Nawawi. Tulisan-tulisannya telah berulangkali dicetak di sini. Sungguh, jikalau di ibaratkan masakan, goresan pena-tulisan beliau sungguh enak rasanya. Kami semua sungguh mendambakan mampu berjumpa dengan beliau.” Syekh Abdul Karim bin Bukhari bin Ali kemudian memegang bahu Syekh Nawawi dan menjawab: “Hadza Huwa (inilah dia)”. Kontan sesudah mereka mengetahui Syekh Nawawi berada di tengah-tengah mereka, mereka eksklusif berrebut mencium tangan dia. Guru-Guru Syek Nawawi Al Bantani Syeikh Nawawi al Bantani berguru terhadap beberapa ulama terkenal pada zaman itu, di antara mereka yang mampu dicatat yakni: Syeikh Ahmad an-Nahrawi, Syeikh Ahmad ad-Dimyati, Syeikh Muhammad Khathib Duma al Hanbali, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki, Syeikh Zainuddin Aceh, Syeikh Ahmad Khathib Sambas, Syeikh Syihabuddin, Syeikh Abdul Ghani Bima, Syeikh Abdul Hamid Daghastani, Syeikh Yusuf Sunbulawani, Syeikhah Fatimah binti Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Yusuf bin Arsyad al-Banjari, Syeikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman al-Falimbani, Syeikh Mahmud Kinan al-Falimbani, Syeikh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani dan lain-lain. Murid-murid Syekh Nawawi Al Bantani Murid-muridnya yang berasal dari Nusantara berbagai yang lalu menjadi ulama terkenal. Di antara mereka yakni: Kiyai Haji Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jawa Timur, Kiai Haji Raden Asnawi Kudus, Jawa Tengah, Kiai Haji Tubagus Muhammad Asnawi Caringin, Banten, Syeikh Muhammad Zainuddin bin Badawi as-Sumbawi (Sumba, Nusa Tenggara), Syeikh Abdus Satar bin Abdul Wahhab as-Shidqi al-Makki, Sayid Ali bin Ali al-Habsyi al Madani dan lain-lain. Tok Kelaba al Fathani juga mengaku mendapatkan satu amalan wirid dari Syeikh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani yang diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani. Salah seorang cucunya, yang menerima pendidikan sepenuhnya dari Nawawi al Bantani ialah Syeikh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Jawi al-Bantani (1285 H./1868 M.- 1324 H./1906 M.). Banyak pula murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang memimpin secara eksklusif barisan jihad di Cilegon melawan penjajahan Belanda pada tahun 1888 Masehi. Di antara mereka yang dianggap selaku pemimpin perlawanan perjuangan di Cilegon adalah Haji Wasit, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail. Para ulama pejuang bangsa ini ialah murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang dikader di Mekkah. Karya-karyanya Selama hidup, Syekh Nawawi al-Bantani tidak kurang menulis sekitar 115 buah kitab dalam banyak sekali cabang ilmu wawasan. Beliau memang diketahui sebagai ulama yang cukup produktif dan baik dalam hal menulis, sehingga akibatnya ia menemukan julukan “Si Pena Emas”. Salah seorang murid beliau yang berjulukan Syekh Abdus Sattar ad Dahlawi menceritakan, bahwa sering kali beliau mengarang kitabnya itu di selasela beliau mengajar para muridnya. Bahkan, dikala ia wafat pun ia tengah menyusun syarah (klarifikasi) kitab Minhajut Tholibin karya Imam Yahya bin Syarf bin Mara bin Hasan bin Husein bin Muhammad bin Jum’ah bin Huzam an Nawawi. Namun karangan tersebut belum sempat tamat hingga dia wafat. Hampir seluruh karya beliau yang tersusun dalam bahasa Arab hingga kini masih menjadi bahan pengkajian di banyak pesantren di tanah air. Di samping itu, karyakaryanya juga banyak dipakai di Timur Tengah. Oleh para peneliti dikemukakan bahwa salah satu keistimewaan dari karya-karya ia yakni keluasan isinya, kelugasan bahasanya sehingga mudah dimengerti dan bisa menjelaskan istilah yang sulit, serta kemampuannya menghidupkan isi karyanya sehingga mampu dijiwai oleh para pembacanya. Karya-karya Syaikh Nawawi Al Bantani Di antara nama-nama kitab yang pernah ditulis oleh ia yaitu sebagai berikut : At Tsimar al Yani’ah (Syarh kitab ArRiyadl alBadi’ah karya Syekh Muhammad Hasbullah). Tanqihul Qaul (Syarh kitab Lubabul Hadits karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi). AtTausyih (Syarh kitab Fath alQarib alMujib karya Imam Ibnu Qasim al-Ghazi). Nur ad Dzalam (Syarh Mandzumah Aqidatul Awam karya Syekh Sayyid Ahmad al Marzuqi al-Maliki). At Tafsir al Munir li Ma’alim at Tanzil (simpulan disusun pada malam Rabu, Rabi’ul Akhir 1305 H). Madarij as Shu’ud (Syarh al Maulid anNabawi / alBarzanji karya Imam al-‘Arif Sayyid Ja’far). Fath al Majid (Syarh Ad-Dar al-Farid fi at-Tauhid karya Syekh Ahmad an-Nahrawi). Fath as Shomad (Syarh al Maulid anNabawi / al Barzanji karya Syekh Ahmad al Qasim al-Maliki). Nihayat az Zain (Syarh Qurrat al‘Ain bi Muhimmat ad Din karya Syekh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari). Salalim al Fudhola (Syarh Mandzumah Hidayatu al Adzkiya’ karya Syekh al-Imam alFadhil Zainuddin). Muraqi al‘Ubudiyyah (Syarh Bidayatul Hidayah karya Imam Abu Hamid al-Ghazali). Sullam al Munajat (Syarh Safinatus Shalat karya Sayid Abdullah bin Umar al Hadhramiy). Nashaihul ‘Ibad (Syarh al Munbihat ‘ala alIsti’dad li Yaum al Mi’ad karya Syekh Syihabuddin Ahmad bin Ahmad al-‘Asqalaniy). al‘Aqd atTsamin (Syarh Mandzumah Sittina Masalah/Fathul Mubin karya Syekh Mushthofa bin Utsman al-Jawi al-Qaruthi). Bahjat al Wasail (Syarh ar Risalatu al Jami’ah baina Ushul ad Din wal Fiqh wa atTashawwuf karya Sayyid Ahmad bin Zaini al-Habsyi). Targhibul Musytaqin (Syarh Mandzumah al-Barzanji fi Maulidi Sayyidil Awwalina wal Akhirin karya Syekh Zainal Abidin). Tijan ad Darari (Syarh Kitab atTauhid karya Syekh Ibrahim al-Bajuri). Fathul Mujib (Syarh kitab Mukhtashar al-Khothib as-Syarbini fi ‘Ilm al-Manasik). Mirqatu Shu’udi at Tashdiq (Syarh Sullam at-Taufiq karya Syekh Abdullah bin Husein bin Thohir bin Muhammad bin Hasyim Ba’lawi). Kasyifatu asSyaja (Syarh Safinatu an-Naja karya Syekh al-‘Alim al-Fadhil Salim bin Sumair al-hadhrami). Qami’ at Thughyan (Syarh Mandzumah Syu’ab alIman karya Syekh Zainudin bin Ali bin Ahmad as-Syafii al-Kusyini al-Malibari). Al Futuhat al Madaniyah (Syarh kitab AsSyu’ab alImaniyah). ‘Uqudu li al-Jain fi Bayani Huquqi az-Zaujain. Fathu Ghafir al-Khathiyah (Syarh Nadzm al Ajurumiyah/al Kaukab al Jaliyah karya Syekh Abdus Salam bin Mujahid an-Nibrawi). Qathrul Ghaits (Syarh Masail Abi Laits karya Imam Abi Laits dan al-Mufassir Nashr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim al-Hanafi). Al-Fushus al-Yaqutiyah ‘ala ar-Raudhah al-Bahiyyah fi al-Abwab at-Tashrifiyah. ArRiyadh al Fauliyah. Sulukul Jadah ‘ala ar Risalah al-Musamma bi Lum’atil Mifadah fi Bayanil Jum’ah wal Mu’adah. AnNahjah alJayyidah (Syarh Mandzumah atTauhid). Hilyatus Shibyan ‘ala Fathir Rahman fi at-Tajwid. Mishbah ad-Dzalam ‘ala al-Manhaj al-Atamm fi Tabwibil Hikam. Dzari’atul Yaqin ‘ala Ummil Barahin fi at-Tauhid. al-Ibriz ad-Dani fi Maulidi Sayyidina Muhammad Sayyid al-‘Adnani. Bughyatul ‘Awam fi Syarhi Maulidi Sayyidil Anam. Ad-Durar al-Bahiyyah fi Syarhi al-Khashaish an-Nabawiyah. Kasyf al Muruthiyyah ‘an Sattar al Ajurumiyah. Lubabul Bayan fi ‘Ilm al Bayan (Syarh kitab Risalah fi al-Isti’arah karya Syekh Husein al-Maliki). Qut al Habib alGharib (catatan atas Syarh atTaqrib karya Abi Syuja’). Fathul ‘Arifin. Ar Risalah al Jami’ah baina Ushulu ad Din wal Fiqh wa at Tashawwuf. Semua kitab-kitab di atas, sampai kini masih banyak dikaji di banyak pesantren di Indonesia. Tentu, selain kitab yang sudah disebutkan, masih banyak lagi kitab karya Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, sebagaimana telah dilansir di atas bahwa jumlah keseluruhan kitab karya beliau berkisar 115 buah kitab dalam aneka macam lapangan ilmu pengetahuan. Kematian Syekh Nawawi al Bantani wafat dalam usia 84 tahun, pada tanggal 25 Syawal 1314 H (1897 M) di kediamannya di Syi’b Ali, Mekkah. Jenazah beliau dikebumikan di pekuburan Ma’la, Mekkah, berdampingan dengan kuburan Syekh Ibnu Hajar al-Haitsami dan Siti Asma’ binti Abi Bakar Ra. Beliau wafat meninggalkan 4 orang puteri : Ruqayyah, Nafisah, Maryam (dinikahkan dengan murid beliau yang bernama KH. Asy’ari - Bawean), dan Zahrah. Demikian bahasan tentang Syekh Nawawi Al Bantani. Semoga bermanfaat. Sumber https://dadanby.blogspot.com
Jumat, 10 April 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon