Jumat, 01 Mei 2020

Materi Pidato Wacana Hutang Piutang .

Hai.. Karena teman saya mempunyai yugas menciptakan pidato ihwal utang piutang, disibi saya akan memposting sedikit materinya :) silahkan simak jika anda semua mempunyai peran yang serupa dengan sahabat aku :) ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG / آداب القرض في الفقه الإسلامي Di dalam kehidupan sehari-hari ini, pada umumnya manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang diperlukan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari dukungan dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pertolongan. Dalam anutan Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, namun diharuskan untuk tambahan hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang mampu mengirimkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.   PENGERTIAN HUTANG PIUTANG: Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) yakni Al-Qath’u yang mempunyai arti memangkas. Harta yang diserahkan terhadap orang yang berhutang disebut Al-Qardh, alasannya merupakan potongan dari harta orang yang memperlihatkan hutang. (Lihat Fiqh Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili) Sedangkan secara terminologis (ungkapan syar’i), makna Al-Qardh adalah menyerahkan harta (uang) selaku bentuk kasih sayang terhadap siapa saja yang akan memanfaatkannya dan ia akan mengembalikannya (pada sebuah dikala) sesuai dengan padanannya. (Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197). Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29). Atau dengan kata lain, Hutang Piutang yakni menawarkan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi perlindungan terhadap peminjam dengan pengembalian di lalu hari sesuai persetujuandengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi dukungan Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di periode depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga. HUKUM HUTANG PIUTANG: Hukum Hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sungguh memerlukan yakni hal yang disenangi dan dianjurkan, sebab di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang yaitu sebagaimana berikut ini: Dalil dari Al-Qur’an yakni firman Allah I: “Siapakah yang akan memberi tunjangan kepada Allah, santunan yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kau dikembalikan.” ( QS. Al-Baqarah: 245 ) Sedangkan dalil dari Al-Hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi r pernah meminjam seekor unta terhadap seorang lelaki. Aku tiba menemui beliau menjinjing seekor unta dari sedekah. Beliau memerintahkan Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada dia dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan cuma-lah sesekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,  “Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.” ( HR. Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, baba istiqradh Al-Ibil (no.2390), dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bagian Man Istaslafa Syai-an Fa Qadha Khairan Minhu (no.1600) Nabi r juga bersabda: “Setiap muslim yang menawarkan pemberian kepada sesamanya dua kali, maka beliau itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389)). Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin sudah berijma‘ wacana disyariatkannya hutang piutang (peminjaman). Adapun hokum berhutang atau meminta perlindungan ialah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, alasannya adalah Nabi r pernah berhutang. (HR. Bukhari IV/608 (no.2305), dan Muslim VI/38 (no.4086)). Namun walaupun berhutang atau meminta perlindungan itu diperbolehkan dalam syariat Islam, hanya saja Islam memerintahkan umatnya semoga menyingkir dari hutang semaksimal mungkin jikalau beliau bisa berbelanja dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, berdasarkan Rasulullah r, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah r: “Sesungguhnya seseorang bila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari). Rasulullah r pernah menolak menshalatkan mayat seseorang yang dikenali masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah r bersabda: “Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim). Bagaimana Islam mengatur berhutang-piutang yang menjinjing pelakunya ke nirwana dan menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah akhlak-adabnya di bawah ini: BEBERAPA ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG: [1]. Hutang piutang mesti ditulis dan dipersaksikan.  Dalilnya firman Allah I: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang diputuskan, hendaklah kau menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kau menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah beliau menghemat sedikitpun ketimbang hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau ia sendiri tidak bisa mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kau ridhai, biar bila seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) kalau mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar hingga batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di segi Allah dan lebih mampu menguatkan persaksian dan lebih bersahabat terhadap tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jikalau mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kau, (jika) kau tidak menulisnya. Dan persaksikanlah jika kau berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling susah-menyulitkan. Jika kau kerjakan (yang demikian) maka bahwasanya hal itu yaitu suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282) Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan isyarat dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, semoga lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di segi Allah dan memperkuat persaksian dan semoga tidak mendatangkan keraguan”. (Lihat Tafsir Al-Alquran Al-Azhim, III/316). [2]. Pemberi hutang atau santunan dilarang mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang. Kaidah fikih berbunyi : “ Setiap hutang yang menjinjing keuntungan, maka hukumnya riba ”. Hal ini terjadi bila salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Dengan kata lain, bahwa dukungan yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau faedah yang dijadikan syarat oleh orang yang menawarkan perlindungan terhadap si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pemberian ialah menyayangi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau laba. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra III/146,147) Dengan dasar itu, memiliki arti pemberian berbunga yang dipraktekkan oleh bank-bank maupun rentenir di periode kini ini terang-terang ialah riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga mampu terkena ancaman keras baik di dunia maupun di alam baka dari Allah ta’ala. Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah dikenali, komplemen yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang yaitu pelengkap yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan suplemen sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada impian untuk ditambah atau menghendaki pelengkap, inilah yang terlarang, adapun bila yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau alasannya dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil komplemen. (Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, II/51). [3]. Kebaikan sepantasnya dibalas dengan kebaikan Dari Abu Hurairah t, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang terhadap seseorang, (adalah) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” lalu mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak memperoleh kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah I membalas dengan setimpal”. Maka Nabi r bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”.( HR. Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305) Dari Jabir bin Abdullah t ia berkata: “Aku mendatangi Nabi r di masjid, sedangkan beliau memiliki hutang kepadaku, kemudian dia membayarnya dam menambahkannya”. (HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394) [4]. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka ia sudah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan jelek tersebut mirip: a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan ungkapan hutang agar mau memberi. d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya. Dari Abu Hurairah t, ia berkata bahwa Nabi r bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah I akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah I akan membinasakannya”. (HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387) Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena realita sering membenarkan sabda Nabi diatas. Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, dikala seseorang bertekad pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak dibarengi dengan niat yang bagus, maka Allah I membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah I bikin capek badannya dalam mencari, namun tidak kunjung mampu. Dan ia letihkan jiwanya alasannya menimbang-nimbang hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang abadi nan infinit? [5]. Tidak boleh melaksanakan jual beli yang diikuti dengan hutang atau peminjaman Mayoritas ulama menilai perbuatan itu dihentikan. Tidak boleh menawarkan syarat dalam dukungan supaya pihak yang berhutang memasarkan sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi: “Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”). Yakni supaya transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan. [6]. Jika terjadi keterlambatan sebab kesusahan keuangan, hendaklah orang yang berhutang menginformasikan kepada orang yang memberikan tunjangan . Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan. Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi santunan, alasannya akan memperparah kondisi, dan mengganti hutang, yang mulanya selaku wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan. [7]. Menggunakan duit santunan dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa perlindungan merupakan amanah yang mesti ia kembalikan. Rasulullah r bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, sampai ia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam  Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya). [8]. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau penghematan, dan juga mencari mediator (syafa’at) untuk memohonnya. Dari Jabir bin Abdullah t, ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang semoga mereka mau menghemat jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mengunjungi Nabi r meminta syafaat (pertolongan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau r berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, kemudian datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau r pun tiba lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa mirip tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405). [9]. Bersegera melunasi hutang Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala beliau telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menangguhkan pelunasan hutang padahal beliau sudah bisa, maka dia termasuk orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana sabda Nabi r: “Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu ialah sebuah kezhaliman”. (HR. Bukhari no. 2400, akan namun lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bagian Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427). Diriwayatkan dari Abu Hurairah t, beliau berkata, telah bersabda Rasulullah r: “Sekalipun aku mempunyai emas sebesar gunung Uhud, saya tidak akan senang kalau tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang”. (HR Bukhari no. 2390)  [10]. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya sehabis jatuh tempo. Allah I berfirman: “Dan jikalau (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah handal hingga dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jikalau kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280). Diriwayatkan dari Abul Yusr, seorang teman Nabi, beliau berkata, Rasulullah r bersabda: “Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari akhir zaman, pent), maka hendaklah ia menundawaktu pelunasan hutang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (Shahih Ibnu Majah no. 1963) Demikian klarifikasi singkat ihwal beberapa adab Islami dalam hutang piutang. Semoga menjadi embel-embel ilmu yang berfaedah bagi siapapun yang membacanya. Dan agar Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan hutang. Amin.
Sumber https://bookish15.blogspot.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)