Minggu, 04 April 2021

Kebudayaan Hiburan Lao Nggalo Masyarakat Dompu


Kebudayaan Hiburan Lao Nggalo Masyarakat Dompu Kebudayaan Hiburan Lao Nggalo Masyarakat Dompu
Berburu src: Wikipedia


Menangkap hewan liar seperti babi, rusa, kerbau liar, dan kambing liar, itulah yang disebut nggalo. Kegiatan ini tergolong salah satu yang menjadi hiburan baik bagi rakyat maupun raja. Kegiatan nggalo ini berisikan:

- Nggalo ndai, adalah mencari hewan liar yang dijalankan secara individual atau sekelompok kecil orang di tempat biasa yang tidak terlarang

- Nggalo ndiha, yaitu mencari binatang liar yang dijalankan oleh raja bareng pembesar-pembesar negeri dengan rakyatnya, sebagai salah satu kesenangan dan rekreasi dari raja dan pembesar-pembesar negeri lainnya pada masa itu.

Tempat-tempat untuk raja melakukan kegiatan nggalo ndiha itu yakni tertentu pula dan kawasan itu biasanya disebut Ruhu Ruma atau kawasan raja berburu dan tersebutlah di sini beberapa daerah, mirip:

1. Ranggo, di ujung utara so Ranggo-Doro Ruhu-sebelah selatan jalan menuju Jambu.

2. Tonda, di wajah Potu ra Mata-Lampalisu.

3. Kempo, di sebelah barat Kampung Soro yang disebut Doro Kola. 

Di tempat-tempat ini, pada jangkauan tertentu, rakyat tidak diperbolehkan masuk ke dalamnya untuk melaksanakan aktivitas nggalo karna dikhususkan keperluan nggalo ndiha bagi raja. Adapun caranya nggalo ndiha dijalankan, seluruh rakyat yang berada di dekat kawasan itu diberitahukan akan ada dilaksanakan nggalo ndiha. Pada hari yang telah ditentukan, seluruh rakyat bau tanah muda naik ke gunung dalam jarak yang jauh hingga-hingga puluhan kilometer, membawa anjing, tombak, dan lain-lain untuk menghalau menjangan, sedangkan raja beserta pembesar-pembesar negeri lainnya telah menunggu dan siap menanti di Ruhu Ruma, di tempat yang sudah dibangun sebelumnya, namanya Sanggopa.

Orang banyak mengusir menjangan dari gunung agar turun ke bawah, lalu lari terbirit-birit di hadapan raja dan pembesar pembesar negeri diburudengan anjing dan manusia dengan tombak. Raja dan pembesar-pembesar negeri lain sudah siap dengan senapan yang siap ditembakkan.

Rakyat pun menganggap yang demikian ialah kesenangan bersama antara raja dengan mereka, sedangkan untuk mereka yang ingin menunjukkan kecekatan serta ketangkasan di hadapan raja, menjangan dikejar dan ditangkap hidup-hidup, diusung dan dielu-elukan di hadapan raja dipuji dan disanjunglah ia oleh raja dan untuk potensi -kesempatan berikutnya orang demikian mesti selalu diikutkan.

Menurut umumnya nggalo ndiha ini, maka berpuluh bahkan beratus ekor menjangan mampu ditangkap yang hasilnya seperlunya saja dibawa ke istana untuk raja dan permaisuri, selebihnya dibagikan kepada pembesar-pembesar negeri yang lain juga terhadap rakyat sekalian.

Dalam program ini permaisuri dan putra putri raja ikutlah dibawa serta.

Dikejar oleh anjing bareng orang berkepanjangan dan berjauh jauhan di padang yang luas atau di sawah, itulah panorama yang mengasikkan bagi raja. Apalagi kalau nggalo ndiha itu dijalankan di Ruhu Kuma-Tonda atau di Soro-Kempo, di mana menjangan akan lari masuk ke dalam bahari, diburudengan sampan, dikejar oleh anjing dan oleh orang yang punya kemahiran berenang, hal ini memiliki keasikan tersendiri pula.

Nggalo menurut pemahaman yang bahu-membahu yaitu menangkap hewan liar dengan memakai anjing. Namun dalam pelaksanaannya dipakai juga peralatan sebagai berikut:

1. Puka dan katotu untuk babi.

2. Sarente atau jerat untuk menjangan, kuda dan kerbau liar.

3. Bento mpou kai jara.

Untuk meraih kesuksesan dalam mempergunakan berbagai jenis alat ini, orang harus memiliki ketrampilan dan pengetahuan tertentu mengenai memelihara anjing berburu dan menciptakan alat-alatnya.

Cara memelihara anjing untuk berburu: 

1. Anjing berburu selalu diberi makan nasi dengan cara nasinya dikepalkan (digumpalkan), kemudian dilontarkan ke arah anjing biar mampu ditangkap dengan mulutnya. Bila diberi makan daging, yang senantiasa diutamakan untuk diberi yaitu daging kerongkongan dan paru-paru. Caranya juga mirip nasi tadi, yakni dilontarkan dengan tujuan untuk mengajarkan kecekatan dan ketangkasan.

2. Bentuk tubuh dan warna bulu anjing menjadi opsi, yakni bentuk badannya yang tinggi semampai dengan kaki belakangnya tegak lurus. Itulah ciri anjing yang cekatan. Sedangkan warna bulu yang menjadi pilihan yaitu yang hitam dan coklat di bawah perutnya yang dinamakan Loko Linta, itulah yang dianggap anjing penurut, cekat dan tangkas.

3. Setelah menjelang dewasa, mulailah diajarkan dibawa ke gunung, di daerah yang dekat dahulu untuk dicoba, adakalanya dengan melemparkan batu sejauh lemparan, agar mampu dipungut dan dikirimkan ke tuannya, dengan ini diajarkan pengenalan medan maupun sasaran

4. Dengan hasil latihan yang bersungguh-sungguh, ada anjing yang dimiliki oleh seseorang yang sungguh patuh atas perintah tuannya. Misalnya suatu dikala tuannya menginginkan agar mencarikan menjangan yang tanduknya telah berkembang sempurna, yang diberi perumpamaan ntasa wanga, maka menjangan inilah yang dikejar oleh anjing itu.

Dalam memelihara anjing ada kekerabatan kejiwaan antara anjing peliharaan dengan pemiliknya alasannya adanya kedekatan.

1. Nggalo Kai Puka atau Katotu

Ini khusus untuk babi. Puka yaitu semacam alat yang dibuat dari tali atau kulit kerbau, semacam jala bermata besar yang gampang dikerutkan kalau mengenai mangsanya, dibuat berpintu satu. Apabila babi masuk ke dalamnya maka tiadalah kemungkinan untuk melepaskan diri lagi sebab puka tersebut akan berkerut dan akan tertutup dengan sendirinya.

Katotu pun demikian pula halnya alasannya adalah dibuat dalam bentuk lancip ujung belakangnya, dibuat dari bambu bundar atau kayu dan dipasang di tempat-kawasan yang miring letaknya, karena sehabis babi masuk eksklusif meluncur ke bawah tanpa bisa berbalik lagi.

Tempat yang paling baik untuk memasang alat-alat semacam ini ialah yang paling sering dilalui oleh babi setiap harinya, ini disebut riwa.

2. Nggalo Kai Parangga

Perangkap itulah artinya, umumnya dibentuk di dalam sungai yang bertebing curam, ditutuplah sungai di atas dan di bawahnya dengan pagar kayu yang kuat dan tinggi. Bila menjangan digiring masuk ke dalamnya, maka sukarlah untuk melepaskan diri kembali. Biasanya yang dipakai yaitu sungai yang tidak lembap (sungai kering).

Parangga ini lazimnya dipimpin oleh seorang yang disebut punggawa atau panggita, karena untuk membuat parangga haruslah ada tata aturannya yang dinamakan uku ra lipa.

Punggawa atau panggita yang membuat parangga itu dianggap sebagai spesialis, yang apabila menciptakan parangga itu khusus menjangan maka dipakailah lipa made, maksudnya segala binatang yang masuk ke dalam parangga tiadalah impian untuk hidup. Lain pula cara membuat parangga untuk menangkap kerbau liar, kuda liar, yang tujuannya untuk dijinakkan dan dipelihara, maka ukuran yang dipakai yakni lipa mori.

Banyak lucu namun ada benarnya, semacam lagi biasanya antara punggawa yang satu dengan punggawa yang lainnya saling bersaing dalam memperlihatkan kemahiran dan kesaktiannya masing-masing dalam menciptakan parangga semoga mendapatkan hasil yang banyak.

Dalam kompetisi ini ada pula semacam gaib, pantangan bagi menjangan yang menurut mereka ialah bila ditanamkan kulit siput di pintu masuk parangga, maka seekor pun menjangan tiadalah berani masuk ke dalam parangga, walau dihalau bagaimanapun menjangan itu akan kembali lari, kadang-kadang orang yang menghalaunya dilanggarnya. Rupanya sang menjangan sangat setia pada sumpahnya yang menurut ceritanya telah mengalah kalah tanpa syarat pada sang siput dikala diadakan lomba lari yang dimenangkan oleh siput dengan segala tipu muslihatnya, yang ceritanya akan diliput pada potensi berikutnya.

Cara menggiring menjangan masuk ke dalam parangga yakni semula pada sore harinya direntangkanlah lamba, adalah tali yang dibentuk dari daun enau, laju namanya di Dompu disambung hingga lima atau sepuluh kilometer panjangnya direntangkan setinggi tubuh dalam bentuk sisi empat atau lingkaran telur tergantung pada suasana medan yang ujungnya nanti, akan berjumpa dan diikatkan pada kedua belah pintu parangga.

Satu hal yang ajaib namun benar pula, lamba yang lebarnya sekitar 2 cm itu tidaklah berani dilanggar oleh menjangan. Kalau pun hal ini terpaksa terjadi dan ini cuma disebabkan sesuatu yang terjadi adanya pantangan yang disimpan orang di pintu parangga, maka menjangan itu akan menemui nasib malang, di dalam dagingnya akan berkembang atau terjadi semacam gumpalan air yang usang kelamaan akan berproses menjadi semacam tepung putih yang keras, dan akan meranalah hidupnya, orang menamakan putu oi.

Setelahnya lamba simpulan direntangkan, maka sekitar jam 3 malam mulailah punggawa beserta seluruh anggotanya menghalau menjangan yang ada di dalam bulat lamba tadi digiring untuk masuk ke dalam parangga. Ini disebut Bali atau Baka dan berlarianlah menjangan itu menuju muara parangga dan masuklah menerima nasibnya, besar kecil tidaklah terkecuali. Bila untung baik maka jumlah menjangan yang masuk terbilang puluhan bahkan ratusan banyaknya.

Suatu hal yang lucu pula adanya yakni kalau yakni belum dewasa menjangan yang kecil yang dianggap belum pantas disembelih, ingin dilepas atau ditangkap dengan tujuan untuk dipelihara tidaklah dapat hidup. Syukarlah dianalisa alasannya adalah-alasannya adalah yang demikian ini bisa terjadi, apakah alasannya lelah dan capai balasan digiring dari daerah yang jauh lalu masuk ke dalam parangga dengan berdesak-desakan, membuat keadaan badannya berubah, ketahanan tubuhnya hilang namun cacat tubuh tiada tampak. Tapi ada semacam iman bagi mereka yang dianggapnya sebagai gaib, bahwa di periode membuat parangga itu adalah tata aturannya seperti yang sudah disebutkan adalah, uku ra lipa. Punggawa atau panggita yang menciptakan parangga dengan lipa made.

3. Nggalo Kai Sarente

Dengan menggunakan jerat, ada yang dibentuk dari kulit kerbau dan ada pula yang terbuat dari kawat, dipasang direntangkan pada daerah yang lazimnya dilalui oleh menjangan umumnya disebut riwa, juga pasang lamba lalu dihalau.

Semacam lagi caranya adalah menjangan dinantikan di kawasan yang sering dilaluinya itu. Orang duduklah di atas pohon kayu, dengan sarente di tangan yang demikian itu dikerjakan pada saat-dikala tertentu contohnya saat turun minum atau kembalinya pada siang hari, jika lalulah menjangan dan kebetulan orangnya cekatan pula, serente dimasukkan ke lehernya kemudian dilepaskan menggunakan sepotong kayu yang sudah diikatkan, bila dibawa lari niscaya akan menyangkut.

4  Nggalo Kai Mpou

Di antara cara-cara menangkap menjangan mirip yang sudah diterangkan di atas, maka yang paling asyik dan mempesona, yakni nggalo kai mpou. Semula menjangan diturunkan dari atas gunung dengan menggunakan anjing dan sehabis sampai di lapangan yang luas, di sana telah tersedia penunggang kuda yang cekatan dan tangkas dengan bento (jerat) di tangan. Menjangan yang telah ada di lapangan luas itu dikejarilah dengan kuda sampai dapat, yaitu dengan memasukkan jerat ke lehernya kemudian dilepas dengan kayu sepotong sebagai tangkainya, bila dibawa lari oleh menjangan pasti akan tersangkutlah beliau.

Tersebutlah tempat-tempat yang bagus untuk acara nggalo terutama yang memakai parangga, yaitu di sera Doro Ncanga hingga ke dalam hutan-hutan Tambora, yang sekarang sudah dijadikan Taman Buru Nasional.

Nggalo skala kecil dapat juga dilakukan di semua kawasan, sebab memang dahulu sangatlah banyak menjangannya.

Pengenalan

Sedikit diterangkan juga bagaimana caranya seorang punggawa atau anak buahnya dapat mengenali bakal banyaklah menjangan di sebuah kawasan pada sebuah waktu manakala akan dimulai Wa'a Lamba atau Lara Lamba supaya kelak niscaya ada menjangan di lingkar lamba.

Maka caranya mereka mengetahui ialah diadakan observasi lapangan yang sungguh hati-hati pada dikala angin tiada bertiup mengamati, jika:

a. Ada bekas-bekas kaki yang gres.

b. Ada kotoran kotoran menjangan yang gres.

C. Ada bunyi menjangan jantan.

Dari berbagai macam nggalo yang diliput di sini maka yang masuk sebagai hiburan rakyat yakni nggalo kai lako dan nggalo kai mpou, sedangkan selebihnya ialah nggalo selaku usaha mencari komplemen penghasilan rumah tangga, dan yang paling berbahaya di antaranya ialah parangga alasannya adalah akan mempercepat proses punahnya menjangan.



Israil M. Saleh,2020, Sekitar Kerajaan Dompu, buku litera, Yogyakarta h.  . . . . .321





Sumber https://www.mooreyi.com/


EmoticonEmoticon