 |
Budaya khas Dompu |
Masyarakat Dompu memiliki ragam khazanah budaya serta hiburan yang sendiri dengan keunikan kawasan dengan wilayah nusantara lain.
Keragaman khas budaya dan hiburan masyarakat mesti selalu tetap terjaga.
pentingnya menjaga keberlangsungan ciri khas budaya dan hiburan masyarakat oleh karena itu peluang ini kita akan mengulas beberapa kebudayaan dan hiburan penduduk daerah Dompu
Pacoa Jara
Pacuan kuda demikianlah artinya, merupakan sebuah hiruk pikuk anak negeri dan menjadi hiburan yang paling disenangi. Kegemaran ini didorong oleh lingkungan hidupnya selaku petani dan peternak, alasannya adalah keuntungannya untuk mendukung perjuangan pertanian mirip kerbau untuk membajak sawah dan memuat padi, untuk kendaraan, untuk tunggangan dan juga untuk beban.
Karena itu dahulu negeri ini dikenal menghasilkan kuda dan kerbau. yang juga diperdagangkan antarpulau seperti ke Pasuruan, Bondowoso Situbondo, Probolinggo dan lain-lain. Sedangkan kerbau untuk dalam negeri ke Palembang, Jambi, Surabaya dan Jakarta, untuk luar negeri ke Hongkong dan Singapura.
Pengangkutan hewan yang diperdagangkan antarpulau dari Dompu dulu sebelum Pelabuhan Bima dibuat ialah lewat Pelabuhan Soro Kilo di Kecamatan Kilo kini, juga melalui Pelabuhan Kempo.
Kegemaran pacuan kuda ini meningkat hingga jadi hobi raja-raja atau pembesar-pembesar negeri, maka dengan demikian hiburan yang paling ramai pada kala itu satu-satunya adalah pacuan kuda. Mula-mula pacuan kuda dijalankan di masing-masing daerah, lama kelamaan dikerjakan secara teroganisir, dengan dibentuknya organisasi pacuan kuda yang berjulukan Himpunan Pacuan Kuda Dompu, Himpunan Pacuan Kuda Kempo, dan Himpunan Pacuan Kuda Hu'u.
Jadwal Pacoa Jara
Dengan telah dibentuknya himpunan pacuan kuda tersebut, maka diaturlah acara pacuan kuda selaku berikut:
1. Diadakan pacuan kuda tingkat kejenelian dengan akseptor kuda yang ada di dalam kejenelian.
2. Diadakan pacuan kuda tingkat kawasan kerajaan, dengan akseptor penerima yang menang di tingkat kejenelian.
3. Diadakan pacuan kuda antara kawasan Kerajaan Dompu, Bima, dan Sumbawa, lokasinya bergantian di antara tempat tersebut,
Saat-ketika untuk lomba pacuan kuda ialah sesudah tamat panen padi dan dilaksanakan bertepatan dengan hari-hari besar Islam pada waktu itu.
Tiap pacuan kuda diadakan, kuda yang tercatat ikut berjumlah 200 300 ekor banyaknya dan umumnya dikelompokkan dalam beberapa kelas, misalnya:
Kelas C, yaitu kuda yang paling tinggi.
Kelas B, adalah kuda yang sedang tingginya.
Kelas A, yaitu kuda pendek atau kuda tunas namanya.
Seperti dijelaskan di atas, memelihara kuda pacuan bukanlah hal yang mudah. Selain memerlukan ongkos pemeliharaan yang banyak, juga mesti memilki tanda-tanda tertentu yang disebut kalisu atau pusaran yang pada umumnya setiap kuda terdapat berbeda.
Jenis-jenis kalisu (pusaran) pada kuda
Jenis-jenis kalisu (pusaran) pada kuda, ialah:
1. Kalisu panta paju (tancap payung), terletak pada bagian: Punggung bagian belakang (kamoto). Punggung bagian tampang (paratama).
2. Kalisu wole (pasak), terletak pada bab kiri-kanan ketiak kaki muka.
3. Kalisu colokomba, terletak pada bagian kiri-kanan pangkal telinga bab belakang.
4. Kalisu mbuda ade (buta hati), terletak pada bab dahi (tantangga).
Di antara jenis kalisu mirip dijelaskan di atas, maka yang pantang bagi seekor kuda pacuan maupun kuda tunggang (jara sadonda), ialah jika memiliki:
a. Kalisu wole: kuda semacam ini memiliki sifat suka meronta-ronta dan membahayakan bagi joki, lagi pula tidak begitu kuat.
b. Kalisu colokomba: kuda semacam ini memiliki sifat: Apabila letaknya berpapasan, tabiatnya baik. Apabila tidak berpapasan letaknya, tabiatnya tidak baik, disebut kabeu (males) dan bila berlari suka maju mundur.
c. Kalisu mbuda ade: kuda semacam ini memiliki sifat: Apabila letaknya di bagian atas matanya, tabiatnya baik. Apabila letaknya di bagian bawah matanya, tabiatnya tidak baik.
Jenis warna bulu kuda
Jenis warna bulu kuda pun menjadi opsi yang serius juga bagi para penggemar kuda, misalnya bulu hitam, karonde, cimbi, dan karaba, serta yang paling baik berbulu warna mbera bermata hitam, alat kelaminnya hitam dan kuku kakinya berwarna hitam pula.
Selain pantangan karena kuda memiliki gejala atau kalisu yang tidak baik, maka adapula pantangan yang dikaitkan dengan sifat sifat pemilik kuda tersebut, bahkan merupakan semacam kepercayaan adanya yang dihubungkan dengan slogan dou Dompu dalam kehidupan yang mengatakan, bahwa hidup yang tepat itu yakni apabila disokong oleh empat unsur, adalah:
1. Wei taho (istri yang bagus).
2. Uma taho (rumah yang baik).
3. Besi taho (senjata yang baik).
4. Jara taho (kuda yang bagus).
Di satu segi, yang dimaksud dengan kuda yang baik ialah kuda yang mempunyai persenyawaan (rohani) yang sesuai, cocok, dan searah dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh pemiliknya.
Percaya atau tidak, hal yang demikian itu mampu dibuktikan dengan realita, yaitu:
a. Apabila seseorang sudah memiliki seekor kuda, kehidupan rumah tangganya aman sejahtera, rezekinya bertambah. Itu pertanda mempunyai Jara taho.
b. Apabila seseorang dulu-dulunya hidup rumah tangganya baik, kondusif tentram dan senang, akan namun sesudah mempunyai kuda, keadaan menjadi sebaliknya, sering berbantah-bantah dengan istri. tetangga, dan rezekinya kian menurun, itu adalah pertanda ia memiliki kuda yang tidak baik.
Jika seekor kuda yang menjadi peliharaan sering meringkik di tengah malam dengan suaranya yang menakutkan, maka kuda semacam itu sangatlah terlarang untuk dipelihara.
Kuda yang mempunyai gejala yang bagus serta mempunyai persenyawaan dengan pemiliknya, maka begitu mahal.
Lao Nggalo
Menangkap binatang liar seperti babi, rusa, kerbau liar, dan kambing liar, itulah yang disebut nggalo. Kegiatan ini tergolong salah satu yang menjadi hiburan baik bagi rakyat maupun raja. Kegiatan nggalo ini berisikan:
- Nggalo ndai, adalah mencari binatang liar yang dilakukan secara individual atau sekelompok kecil orang di daerah lazim yang tidak terlarang
- Nggalo ndiha, yakni mencari binatang liar yang dilakukan oleh raja bareng pembesar-pembesar negeri dengan rakyatnya, selaku salah satu kesenangan dan rekreasi dari raja dan pembesar-pembesar negeri yang lain pada kurun itu.
Tempat-daerah untuk raja melaksanakan kegiatan nggalo ndiha itu ialah tertentu pula dan daerah itu lazimnya disebut Ruhu Ruma atau kawasan raja berburu dan tersebutlah di sini beberapa kawasan, seperti:
1. Ranggo, di ujung utara so Ranggo-Doro Ruhu-sebelah selatan jalan menuju Jambu.
2. Tonda, di tampang Potu ra Mata-Lampalisu.
3. Kempo, di sebelah barat Kampung Soro yang disebut Doro Kola.
Di tempat-tempat ini, pada jangkauan tertentu, rakyat tidak diperbolehkan masuk ke dalamnya untuk melakukan aktivitas nggalo karna dikhususkan kebutuhan nggalo ndiha bagi raja. Adapun caranya nggalo ndiha dijalankan, seluruh rakyat yang berada di erat tempat itu diberitahukan akan ada dilaksanakan nggalo ndiha. Pada hari yang sudah diputuskan, seluruh rakyat bau tanah muda naik ke gunung dalam jarak yang jauh hingga-hingga puluhan kilometer, membawa anjing, tombak, dan lain-lain untuk menghalau menjangan, sedangkan raja beserta pembesar-pembesar negeri yang lain sudah menanti dan siap menanti di Ruhu Ruma, di kawasan yang sudah dibangun sebelumnya, namanya Sanggopa.
Orang banyak menghalau menjangan dari gunung supaya turun ke bawah, lalu lari terbirit-birit di hadapan raja dan pembesar pembesar negeri diburudengan anjing dan manusia dengan tombak. Raja dan pembesar-pembesar negeri lain sudah siap dengan senapan yang siap ditembakkan.
Rakyat pun menganggap yang demikian yakni kesenangan bersama antara raja dengan mereka, sedangkan untuk mereka yang ingin memperlihatkan kecekatan serta ketangkasan di hadapan raja, menjangan diburudan ditangkap hidup-hidup, diusung dan dielu-elukan di hadapan raja disanjung dan disanjunglah ia oleh raja dan untuk potensi -kesempatan selanjutnya orang demikian mesti senantiasa diikutkan.
Menurut umumnya nggalo ndiha ini, maka berpuluh bahkan beratus ekor menjangan mampu ditangkap yang alhasil secukupnya saja dibawa ke istana untuk raja dan permaisuri, selebihnya dibagikan terhadap pembesar-pembesar negeri lainnya juga kepada rakyat sekalian.
Dalam program ini permaisuri dan putra putri raja ikutlah dibawa serta.
Dikejar oleh anjing bersama orang berkepanjangan dan berjauh jauhan di padang yang luas atau di sawah, itulah pemandangan yang mengasikkan bagi raja. Apalagi kalau nggalo ndiha itu dijalankan di Ruhu Kuma-Tonda atau di Soro-Kempo, di mana menjangan akan lari masuk ke dalam laut, diburudengan sampan, dikejar oleh anjing dan oleh orang yang punya kemahiran berenang, hal ini mempunyai keasikan tersendiri pula.
Nggalo berdasarkan pengertian yang sesungguhnya yakni menangkap hewan liar dengan memakai anjing. Namun dalam pelaksanaannya digunakan juga perlengkapan sebagai berikut:
1. Puka dan katotu untuk babi.
2. Sarente atau jerat untuk menjangan, kuda dan kerbau liar.
3. Bento mpou kai jara.
Untuk meraih kesuksesan dalam mempergunakan aneka macam jenis alat ini, orang mesti memiliki ketrampilan dan pengetahuan tertentu mengenai memelihara anjing berburu dan membuat alat-alatnya.
1. Nggalo Kai Puka atau Katotu
Ini khusus untuk babi. Puka yaitu semacam alat yang dibentuk dari tali atau kulit kerbau, semacam jala bermata besar yang mudah dikerutkan jika tentang mangsanya, dibuat berpintu satu. Apabila babi masuk ke dalamnya maka tiadalah kemungkinan untuk melepaskan diri lagi sebab puka tersebut akan berkerut dan akan tertutup dengan sendirinya.
Katotu pun demikian pula halnya karena dibuat dalam bentuk lancip ujung belakangnya, dibentuk dari bambu lingkaran atau kayu dan dipasang di tempat-daerah yang miring letaknya, alasannya sesudah babi masuk eksklusif meluncur ke bawah tanpa mampu berbalik lagi.
Tempat yang paling baik untuk memasang alat-alat semacam ini yakni yang paling kerap dilalui oleh babi setiap harinya, ini disebut riwa.
2. Nggalo Kai Parangga
Perangkap itulah artinya, lazimnya dibuat di dalam sungai yang bertebing curam, ditutuplah sungai di atas dan di bawahnya dengan pagar kayu yang berpengaruh dan tinggi. Bila menjangan digiring masuk ke dalamnya, maka sukarlah untuk melepaskan diri kembali. Biasanya yang dipakai yakni sungai yang tidak berair (sungai kering).
Parangga ini biasanya dipimpin oleh seorang yang disebut punggawa atau panggita, karena untuk menciptakan parangga haruslah ada tata aturannya yang dinamakan uku ra lipa.
Punggawa atau panggita yang menciptakan parangga itu dianggap sebagai seorang ahli, yang kalau membuat parangga itu khusus menjangan maka dipakailah lipa made, maksudnya segala hewan yang masuk ke dalam parangga tiadalah cita-cita untuk hidup. Lain pula cara menciptakan parangga untuk menangkap kerbau liar, kuda liar, yang tujuannya untuk dijinakkan dan dipelihara, maka ukuran yang dipakai yaitu lipa mori.
Banyak lucu tetapi ada benarnya, semacam lagi lazimnya antara punggawa yang satu dengan punggawa yang yang lain saling bersaing dalam menawarkan kemahiran dan kesaktiannya masing-masing dalam membuat parangga supaya menerima hasil yang banyak.
Dalam kompetisi ini ada pula semacam mistik, pantangan bagi menjangan yang menurut mereka yakni bila ditanamkan kulit siput di pintu masuk parangga, maka seekor pun menjangan tiadalah berani masuk ke dalam parangga, walau dihalau bagaimanapun menjangan itu akan kembali lari, adakala orang yang menghalaunya dilanggarnya. Rupanya sang menjangan sungguh setia pada sumpahnya yang berdasarkan ceritanya telah menyerah kalah tanpa syarat pada sang siput ketika diadakan kontes lari yang dimenangkan oleh siput dengan segala tipu muslihatnya, yang ceritanya akan diliput pada potensi selanjutnya.
Cara menggiring menjangan masuk ke dalam parangga adalah semula pada sore harinya direntangkanlah lamba, yakni tali yang dibentuk dari daun enau, laju namanya di Dompu disambung sampai lima atau sepuluh kilometer panjangnya direntangkan setinggi tubuh dalam bentuk segi empat atau lingkaran telur tergantung pada situasi medan yang ujungnya nanti, akan berjumpa dan diikatkan pada kedua belah pintu parangga.
Satu hal yang aneh tetapi benar pula, lamba yang lebarnya sekitar 2 cm itu tidaklah berani dilanggar oleh menjangan. Kalau pun hal ini terpaksa terjadi dan ini cuma disebabkan sesuatu yang terjadi adanya pantangan yang disimpan orang di pintu parangga, maka menjangan itu akan menemui nasib malang, di dalam dagingnya akan tumbuh atau terjadi semacam gumpalan air yang lama kelamaan akan berproses menjadi semacam tepung putih yang keras, dan akan meranalah hidupnya, orang menamakan putu oi.
Setelahnya lamba tamat direntangkan, maka sekitar jam 3 malam mulailah punggawa beserta seluruh anggotanya mengusir menjangan yang ada di dalam lingkaran lamba tadi digiring untuk masuk ke dalam parangga. Ini disebut Bali atau Baka dan berlarianlah menjangan itu menuju muara parangga dan masuklah menerima nasibnya, besar kecil tidaklah terkecuali. Bila untung baik maka jumlah menjangan yang masuk terbilang puluhan bahkan ratusan banyaknya.
Suatu hal yang lucu pula adanya yakni apabila yakni bawah umur menjangan yang kecil yang dianggap belum patut disembelih, ingin dilepas atau ditangkap dengan tujuan untuk dipelihara tidaklah mampu hidup. Syukarlah dianalisa karena-alasannya adalah yang demikian ini bisa terjadi, apakah alasannya adalah letih dan capai akibat digiring dari tempat yang jauh kemudian masuk ke dalam parangga dengan berdesak-desakan, membuat kondisi badannya berganti, ketahanan tubuhnya hilang tetapi cacat badan tiada terlihat . Tapi ada semacam kepercayaan bagi mereka yang dianggapnya selaku gaib, bahwa di kurun membuat parangga itu yaitu tata aturannya seperti yang telah disebutkan yakni, uku ra lipa. Punggawa atau panggita yang membuat parangga dengan lipa made.
3. Nggalo Kai Sarente
Dengan menggunakan jerat, ada yang dibuat dari kulit kerbau dan ada pula yang terbuat dari kawat, dipasang direntangkan pada daerah yang biasanya dilalui oleh menjangan umumnya disebut riwa, juga pasang lamba lalu dihalau.
Semacam lagi caranya yakni menjangan ditunggu di daerah yang sering dilaluinya itu. Orang duduklah di atas pohon kayu, dengan sarente di tangan yang demikian itu dikerjakan pada saat-ketika tertentu misalnya saat turun minum atau kembalinya pada siang hari, jikalau lalulah menjangan dan kebetulan orangnya terampil pula, serente dimasukkan ke lehernya lalu dilepaskan memakai sepotong kayu yang telah diikatkan, jika dibawa lari pasti akan menyangkut.
4 Nggalo Kai Mpou
Di antara cara-cara menangkap menjangan seperti yang telah dijelaskan di atas, maka yang paling asyik dan menarik, adalah nggalo kai mpou. Semula menjangan diturunkan dari atas gunung dengan menggunakan anjing dan sesudah sampai di lapangan yang luas, di sana sudah tersedia penunggang kuda yang terampil dan tangkas dengan bento (jerat) di tangan. Menjangan yang sudah ada di lapangan luas itu dikejarilah dengan kuda hingga dapat, yakni dengan memasukkan jerat ke lehernya lalu dilepas dengan kayu sepotong selaku tangkainya, bila dibawa lari oleh menjangan pasti akan tersangkutlah ia.
Tersebutlah tempat-daerah yang bagus untuk acara nggalo terutama yang memakai parangga, ialah di sera Doro Ncanga hingga ke dalam hutan-hutan Tambora, yang sekarang sudah dijadikan Taman Buru Nasional.
Nggalo skala kecil mampu juga dilaksanakan di semua tempat, alasannya memang dulu sangatlah banyak menjangannya.
Pengenalan
Sedikit diterangkan juga bagaimana caranya seorang punggawa atau anak buahnya dapat mengetahui bakal banyaklah menjangan di suatu kawasan pada suatu waktu manakala akan dimulai Wa'a Lamba atau Lara Lamba biar kelak niscaya ada menjangan di lingkar lamba.
Maka caranya mereka mengetahui yaitu diadakan observasi lapangan yang sangat hati-hati pada dikala angin tiada bertiup memperhatikan, jika:
a. Ada bekas-bekas kaki yang baru.
b. Ada kotoran kotoran menjangan yang gres.
C. Ada suara menjangan jantan.
Dari berbagai macam nggalo yang diliput di sini maka yang masuk sebagai hiburan rakyat ialah nggalo kai lako dan nggalo kai mpou, sedangkan selebihnya yakni nggalo sebagai usaha mencari tambahan penghasilan rumah tangga, dan yang paling berbahaya di antaranya yakni parangga sebab akan mempercepat proses punahnya menjangan.
Karai sampa
Semacam lagi hiburan rakyat yang tidak kurang asyiknya yakni lomba sampan. Lomba sampan ini ada dua macam caranya, adalah:
a. Lomba mendayung
b. Lomba layar.
Keramaian ini yakni kesenangan penduduk yang berdiam di pesisir pantai seperti di Soro dan Hu'u. Wujud hiruk pikuk ini menampilkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, alasannya curahan lezat-Nya. Lomba sampan ini biasanya dilakukan pada animo kemarau.
Ngaha caru
Di bawah ini dijelaskan bentuk-bentuk ngaha caru yang dimaksud dengan berbagai variasinya, ialah:
a. Ngaha Caru di Musim Buah
Ngaha caru pada demam isu buah, maka tersebutlah di sini kawasan tempat buah berkembang secara alami, maka di sanalah orang pergi beramai ramai. Ada yang langsung pulang bila tempatnya dekat dan ada yang bermalam jikalau tempatnya jauh.
Dicatatlah di sini beberapa tempat yang ditumbuhi buah-buahan secara alami, yakni:
- Hodo dan sekitarnya.
- Dinggotabe dan sekitarnya.
- Doro Ncanga dan sekitarnya.
- Ndano Duwe Doro Nae Lamumbu.
- Saneo, Karamabura, dan sekitarnya.
- Sera Nae dan Sera Lua (Soriutu).
- Di Woko dan sekitarnya.
Buah-buahan yang tumbuh secara alami di situ adalah duwe, jambu, loka, bidara, dan lain-lain serta sangatlah banyaknya.
b. Ngaha Caru Musim Panen
Ngaha caru, lao ngepe uta, lao karingu diwu, Cara oi duwa, begitulah sebutannya yakni di tepi pantai, di palung-palung sungai (diwu), atau di pantai disebut nanga (muara) atau cara oi (mengalihkan air sungai).
Di kawasan-daerah ini banyaklah ikannya dari banyak sekali jenis, mirip:
+ Diwu (palung sungai) terdapat ikan: kada, kahunggu, karondo, kapanto, karisa, lindu, duna, simbu, kamboo, sanggilo, ka'iha, ruma londe, mbura, mara iri, umpu, dan lain-lain.
+ Nanga (muara) pantai, juga terdapat ikan mirip dijelaskan di atas ditambah lagi dengan aneka macam jenis keong dan siput maritim di tepi pantai, mirip: loge, kasilo, tontompihi, kongo, keu, kasi’i, kapa'a, hapiwadu, kamoko, kahangga, kaca'a, dan lain-lain.
Sedangkan untuk orang Kilo dan Hu'u ada pula jenis ikan yang spesifik dan tidak ada di tempat lain, yakni:
- Di Kilo namanya ifu.
- Di Hu'u namanya mbenggo.
Adalah sejenis hewan yang konon terjadi di udara dan turun bersama air hujan di ekspresi dominan-isu terkini tertentu, di wura nciwi dan wura mpuru. Jenis binatang tersebut jika jatuh di maritim atau sungai akan menjadi ikan, sedangkan kalau jatuh di darat akan menjadi ulat.
Ikan ini sangatlah lezat cita rasanya, berdasarkan mereka bila disimpan berlama-lama dikemaslah dia dengan rempah-rempah dan bumbu bumbu tradisional, dan jikalau dimakan dalam bentuk segar, diolah atau dikemas bareng santan kelapa kemudian dipanggang bukan main enaknya. Ngaha caru seperti ini dilatarbelakangi oleh:
+ Kebiasaan pada animo tamat panen akan masuklah musim kemarau, ikan di sungai dan muara sungai sangatlah banyaknya
+ Kebiasaan pada isu terkini tamat panen yaitu untuk melepaskan letih setelah penat dan capai melakukan pekerjaan di sawah dan ladang yang disertai panen yang berhasil.
Pepatah mengatakan, di mana ada air di situ ada ikan yakni kenyataan yang tidak perlu dibantah, bukan saja di bahari atau di sungai, tetapi hingga di rawa-rawa dan kubangan pun terdapat ikan di dalamnya.
Di sisi lain insan selalu tidak inginpuas dalam kehidupan ini, bila mencari ikan di laut atau di sungai, tiada sabar bila mengambilnya sedikit demi sedikit, dengan cara-cara menggunakan alat tradisional (nggawi, ndaha, puka, katotu, bodo, nggufa, tee sai, tee jari, jala, ikat rambut). Rasa mana tahannya selalu mendorongnya untuk mencari upaya lain, mirip:
+ Kalau mencari ikan di bahari supaya mendapatkan hasil yang banyak dan membuat puas hati, maka dipakailah materi peledak.
+ Kalau mencari ikan di sungai atau di rawa, supaya memperoleh hasil yang banyak dan memuaskan hati, maka dipakailah bahan beracun.
C. Ngaha caru kala modern
Seiring berjalannya waktu bagi masyarakat Dompu ngaha caru tidak hanya pergi ramai ramai pada trend buah, pada daerah buah berkembang secara alami, ataupun ngaha caru pada dikala trend panen.
Di kala terbaru ngaha caru lebih cenderung pergi wisata ke tempat yg indah secara bersama sama dengan menjinjing kuliner yang lezat ( ngaha caru) umumdiadakan pada saat piknik atau moment tertentu contohnya liburan semester dan pembagian raport, setelah hari raya dll
Nente Jara Kapa nae
Ada pula suatu hiburan yang sangat terkesan kala itu, semacam rekreasi mirip sekarang, ialah pada isu terkini-demam isu buah pada setiap tahun atau pada upacara-upacara iktikad, seperti lao bunga rade, lao cola naja, lao toho ra dore, diadakanlah semacam aktivitas rekreasi atau hiburan yang umumnya disebut Lao Ngaha Caru, Lao Cola Naja, Lao Raho ra Pamao, dan dikerjakan pada saat tertentu pula adalah pada saat:
+Musim buah, sehabis musim panen simpulan, dan
+ Pada saat melakukan upacara dogma atau keagamaan
Nente Jara Kapa Nae artinya naik kuda berpelana besar yang dinaiki berdua antara wanita dan laki-laki atau berpasangan. Walapun dibilang naik kuda berdua berpasangan, berdasarkan budbahasa istiadatnya lazimnya yang menjadi pasangan duduk berdua di atas kuda yakni suami istri, atau laki-laki cukup umur dan ibunya atau kerabat perempuannnya. Berpasangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya tidak dibolehkan oleh adab.
Salah satu yang menawan di sini adalah kebolehan seorang wanita duduk di atas punggung kuda dengan kaki yang dilipat (doho siwe) meskipun kuda sedang berlari makin kencang larinya kuda, makin enaklah duduknya. Ini ialah ialah salah satu ketrampilan khusus bagi kaum wanita pada era itu, dan oleh kesudahannya sangatlah tidak elok jika seorang perempuan tidak mampu naik kuda.
Karai Jara
Karai Jara yakni hiburan yang diadakan dalam rangka upacara upacara seperti Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Setelah kembali dari masjid menunaikan sembahyang maka sungguh ramailah kaum lelaki berkemas-kemas, bau tanah-muda, khususnya sampaumur-remaja, dengan kudanya masing-masing yang sejak kemarin telah diikat di rumah.
Karai Jara dimaksud dijalankan di jalan raya pulang pergi dalam suatu alur atau berkeliling kampung. Para penonton berjejal-jejal di pinggir jalan untuk mengelu-elukan kemahiran mereka. Ada juga yang menonton dari atas lotengnya yaitu gadis-gadis pingitan, dan bila kebetulan remaja-remaja penunggang kuda itu kebetulan baginya. Hiburan semacam ini diadakan pada pagi hari dan sore hari, dan akanlah sangat mengasikkan lagi apabila para pengendara kuda tadi ikut ditonton oleh pacarnya di atas loteng kawasan dia bertenun atau daerah ia
dipingit. Kuda yang dipakai untuk hiburan ini dicari dan dilatih dari kuda yang manis, dan larinya akan dinamakan rai lao dengan alat-alat penunggang terdiri dari kapa (pelana) yang dibentuk khusus semacam kasur kecil dan tali kekangnya dibuat dari benang yang dianyam yang dinamakan ai kobi tanpa menggunakan pengait kaki yang di sebut satonda.
sumber :
Israil M. Saleh, Sekitar Kerajaan Dompu,2020, buku litera, Yogyakarta h. . . . . .313
Sumber https://www.mooreyi.com/
EmoticonEmoticon